Banyaknya lukisan mahakarya koleksi istana yang rusak dan minim perawatan menunjukkan pemerintah tak punya kepedulian terhadap karya seni bernilai tinggi. Itu sekaligus menunjukkan buruknya selera pemerintah terhadap karya seni.
Menurut pengamat seni Amir Sidharta, Senin (30/9), dana perawatan dan restorasi mestinya bukan hal sulit atau mustahil, tetapi tergantung niat. Sebab, biaya perawatan dan restorasi dapat dihitung.
"Karena ini koleksi sejarah, tentu tafsiran terhadap nilai sejarahnya lebih tinggi. Namun, bukan berarti tak mungkin dilakukan restorasi. Ini bisa disiasati dengan penjadwalan, misalnya untuk perawatan setiap dua tahun sekali dan untuk restorasi setiap lima tahun sekali," kata Amir di Jakarta.
Perawatan, kata Amir, merupakan hal mutlak pada lukisan. Ada kalanya, karya dibuat dengan material buruk, misalnya saat revolusi, sehingga material bagus amat sulit diperoleh.
Budayawan sekaligus penggagas petisi Raden Saleh 2005 -komunitas pecinta karya Raden Saleh- Dayan D Layuk Allo dalam kesempatan terpisah mengatakan, banyaknya lukisan koleksi istana yang rusak , termasuk lukisan Raden Saleh, sangat memprihatinkan. Di negara lain, lukisan mahakarya diperlakukan baik, termasuk perawatan dan upaya restorasi yang dibutuhkan.
"Indonesia memang tertinggal. Upaya pengelolaan istana pada koleksi lukisan baru sebatas pendataan atau inventarisasi koleksi. Perawatan pun terbatas menggantung lukisan lalu menjaganya. Upaya restorasi yang baik terhadap lukisan, belum digalakkan," kata Dayan.
Latih perawatSusanne Earhards, restorator asal Jerman yang baru meretorasi dua lukisan karya Raden Saleh, "Penangkapan Diponegoro" dan "Harimau Minum", mengatakan, merawat lukisan sangat penting. Namun, yang tak kalah penting adalah melatih petugas yang bertanggung jawab merawat koleksi untuk memastikan perawatan koleksi dengan baik.
Amir mengusulkan agar lukisan koleksi istana dibuka untuk publik, sehingga jika terjadi kerusakan, lebih mudah diketahui. Di sisi lain, perawatan yang dilakukan lebih maksimal