Perbedaan pendapat selalu ada. Begitu pula tentang striker Liverpool, Luis Suarez. Bagi para penggemar The Reds, Suarez adalah idola. Selain karena konsisten menyumbang gol-gol penting bagi klub, penyerang asal Uruguay ini disukai berkat totalitasnya di atas lapangan.
Ya, Suarez selalu bermain tak kenal lelah. Sepanjang pertandingan, dia tak pernah berhenti berlari untuk mencetak gol ataupun berupaya merebut bola dari lawan. Terkadang segala cara dilakukannya, mulai dari bermain keras hingga melakukan beberapa trik untuk mengelabui lawan agar timnya bisa menang. Namun, sebagai konsekuensi,Suarez sering tidak disukai suporter tim lawan.
Akan tetapi, totalitas bermain seperti itu tidak pernah bisa sirna dari dalam diri Suarez. Selama masih bermain, dia akan terus menunjukkannya karena dia orang Uruguay.
Jika jeli mengamati, terlihat bukan hanya Suarez yang tampil dengan segenap hati di atas lapangan. Rekan-rekannya yang berasal dari Uruguay cenderung memiliki karakter permainan serupa.
Lihat saja kiprah striker Edinson Cavani yang membela Paris-Saint Germain. Sebagai penyerang, Cavani tidak pasif menunggu umpan dari rekan. Sebaliknya, dia malah menjelajah di setiap jengkal lapangan untuk memburu bola.
Contoh lain adalah eks defender Juventus, Paolo Montero. Pemain ini dikenal senang bermain keras untuk mengamankan pertahanan timnya. Akibatnya, hingga kini, Montero masih tercatat sebagai pemain yang paling sering mendapat kartu merah di Serie-A.
Para pemain Uruguay bermain seperti itu karena indoktrinasi La Garra Charrua di dalam diri mereka. Garra dalam bahasa Spanyol bisa diartikan sebagai spirit. Sedangkan Charrua adalah sebutan suku asli yang mendiami Uruguay. Para pesepak bola Uruguay selalu tampil total karena ingin memperlihatkan semangat juang ala suku Charrua.
Inspirasi suku pejuang
Suku Charrua mendiami Uruguay dan daerah Brasiliaia bagian selatan sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka termahsyur karena keberaniannya dalam menantang kolonial yang menginjakkan kaki di negerinya. Salah satu aksi suku Charrua yang fenomenal adalah membunuh penjelajah asal Spanyol, Juan Diaz de Solis pada 1515 di Rio de Plata.
Sejak saat itu, suku Charrua dihabisi. Namun, mereka terus melawan hingga punah.
Titik akhir perlawanan suku Charrua terjadi pada 11 April 1831. Mereka dibunuh oleh pasukan yang dipimpin oleh Bernabe Rivera yang merupakan keponakan presiden pertama Uruguay, Fructuoso Rivera, di Salsipuedes setelah ditipu diajak berunding. Dalam pembantaian tersebut, hanya sedikit suku Charrua yang tersisa.
Empat bulan kemudian, pembersihan suku Charrua berlanjut di Mataojo. Akibatnya, suku Charrua benar-benar berada di ambang kepunahan. Diyakini hanya empat orang yang selamat. Mereka pun akhirnya tertangkap di Salsipuedes sehingga dibawa ke Prancis hingga akhir hayat.
Meski telah musnah, kisah keberanian suku Charrua menginspirasi bangsa Uruguay. Monumen Los Ultimos Charruas dibangun di Montevideo untuk mengenang mereka. Selain itu, semboyan La Garra Charrua selalu digunakan terutama ketika bangsa Uruguay berhadapan dengan bangsa asing.
Menariknya, semboyan itu juga sering dipakai dalam olahraga khususnya sepak bola. Pemain Uruguay diharuskan bermain dengan semangat penuh tanpa kenal kata menyerah seperti suku Charrua. Tak heran, Suarez dkk selalu tampil total di atas lapangan dan tidak pernah mengenal takut kepada lawan.