Tanpa disadari pemakaian kertas cukup berlebih dewasa ini, contohnya seperti di lingkungan kampus. Melihat itu salah seorang finalis Duta Muda Lingkungan Bayer 2013, Nana Diana (19), mahasiswa asal Universitas Syiah Kuala, Aceh, merasa tertarik untuk mengolah limbah kertas sebagai bahan konstruksi bangunan.
"Sebab kertas bekasnya itu banyak, lalu belum di-manage terlalu bagus. Jadi mengapa tidak dimanfaatkan untuk yang lain kertas-kertas tak terpakai itu?" ujar Nana.
Ia melanjutkan, "Di universitas saja ini ada berkilo-kilo kertas per hari. Saya mengembangkan Economical rHash-paperbrick, batu bata yang tersusun dari sampah kertas dan abu sekam di lingkungan sekitar." Kedua campuran bahan limbah tersebut akan dibentuk menjadi bata untuk konstruksi bangunan rumah.
"Kebetulan dosen saya, pernah meneliti tentang itu selama dua tahun. Setelah konsultasi dengan dosen, beliau menyarankan saya membuat batu bata kertas versi yang lain," ungkap gadis yang kini menjalani semester tiga di Fakultas Pendidikan Matematika itu.
Nana menambahkan, ia mulai proyek tiga bulan yang lalu. Dalam proyek ini Nana membuktikan bahwa bata dari olahan limbah memiliki karakteristik isolasi termal yang baik dan tepat digunakan di daerah rawan gempa layaknya Aceh.
"Batu bata dari kertas karakternya itu lebih ringan, tapi lebih kuat menahan gempa. Jadi begini, di daerah rawan gempa, bata yang berbeban ringan otomatis memengaruhi dampak gempa, akan semakin minim kerusakannya dengan massa beban kecil," jelas Nana. "Karena ada gempa yang vertikal guncangannya, maka perlu batu bata yang ringan."
Nana telah membuat 100 bata dan dinding berukuran 1x1 meter (sekitar 80 bata). "Kalau bisa, ingin sampai jadi rumah. Tapi itu butuh waktu. Tiga bulanan untuk mengumpulkan kertas, tiga bulan untuk membuat bata."
Menurut Nana lagi, satu kilo kertas dapat menghasilkan enam buah bata. Untuk 100 bata, diperlukan kurang lebih 20 kilo kertas. Apabila berencana mendirikan sebuah rumah baru, rumah tipe 36 sederhana dengan dua kamar membutuhkan 6.000-an bata.
Untuk bahan baku, sekarang masih banyak akan tetapi ke depannya kertas lambat laun bakal dikurangi. Ada rencana komposisinya dikurangi. Dan diganti dengan sekam. "Kami juga memikirkan apakah mungkin menggunakan tisu, karena tisu juga merupakan kertas," ungkapnya.Pengalaman gempa
"Terakhir kali ada gempa di Aceh tiga hari sebelum aku berangkat ke Jakarta, tanggal 24 September," kata Nana seraya tersenyum. Ide batu bata kertas juga didasari kerapnya masyarakat Aceh mengalami gempa.
Ia mengaku sudah kebal dengan gempa. "Kami di Aceh cukup beradaptasilah dengan gempa. Gempa di bawah lima [Skala Richter] sepertinya biasa saja, tergolong tidak terasa guncangan gempa," ujar anak kelima dari enam bersaudara ini.
"Tanggap gempa juga dapat dilakukan. Saat ini pengguna smartphone bisa mengakses informasi menggunakan berbagai aplikasi pendeteksi gempa. Jika kira-kira terjadi gempa agak kuat, ada sirene di pinggir laut."