Rumah-rumah dalam permukiman itu berderet dalam pola linier. Jarak antara satu rumah dan lainnya sekitar 20 meter. Hunian tersebut beratap alang-alang dengan tali pengikat, berkerangka bambu, dan bertiang kayu penyangga. Sejumlah batu kali disusun rapi, tampaknya berfungsi sebagai penahan beban konstruksi tiang bangunan tadi.
Arsitektur rumah itu diduga mirip dengan rumah adat Sumbawa umumnya, semacam rumah panggung. “Uniknya, atap ijuk yang ditemukan menggunakan teknik ikatan atap yang sama dengan yang dikenal di Bali,” demikian laporan ekskavasi I Made Madera dari Balai Arkeologi Denpasar dalam Berita Penelitian Arkeologi 2008.
Made dan timnya telah menyingkap tiga lokasi rumah yang sejajar dengan jarak yang yang sama. Rumah-rumah itu memiliki kesamaan dalam pola penempatan dapur di sisi utara, sementara bagian depan mengarah ke selatan atau menghadap ke Gunung Tambora.
Menurutnya, suatu pola pengaturan masyarakat dapat menunjukkan strata masyarakatnya, salah satunya aspek keruangan dalam pola permukiman Tambora.
(Baca juga: Inilah Peneliti Pertama Penyingkap Gunung Tambora 1847)
Mereka telah menemukan berbagai singkapan perabotan yang menunjukkan status sosial ekonomi pemiliknya. Dari temuan tersebut diperkirakan rumah itu bukan rumah masyarakat kebanyakan, menurut Made dalam laporannya, tetapi rumah dari golongan menengah atau tokoh masyarakat.
Mereka menjumpai piring, cawan, mangkuk, buli-buli yang semuanya terbuat dari keramik masa Dinasti Ching (sekitar abad ke-17 dan ke-18), koin perak masa Hindia Belanda, tombak dan pataka yang ujungnya diraut menyerupai mendur. Fungsinya sebagai bagian dari ujung tiang bendera.
Selain itu, juga terdapat botol minuman keras, beberapa perhiasan dari emas bertakhtakan permata berwarna putih keunguan, sebuah keris yang masih tersemat dipinggang lelaki dengan daging yang hangus. “Penggunaan keris yang dipasang melintang di bagian depan pinggang di daerah Dompu umumnya dipakai kaum bangsawan dan pejabat,” ungkapnya.
(Lihat: Kisah Rangka Lelaki Ningrat Korban Letusan Tambora)
Dalam penelitian ini Made memadukan panduan hasil rekaman Ground Penetration Radar—yang memberikan indikasi keberadaan temuan di bawah tanah—dan metode ekskavasi arkeologi.
Tercatat beberapa penelitian yang menyingkap perdababan Tambora. Pada 2004, geolog Herraldur Sigurdsson dari Rhode Island University, Amerika Serikat, menemukan rangka pasangan lelaki dan perempuan yang tewas terhempas awan panas Tambora.
Tiga tahun berikutnya, Bambang Budi Utomo dari Pusat Arkeologi Nasional berhasil menyingkap atap rumah dan artefak penghuninya. Selain tinggalan rumah yang diduga dihuni kerabat ningrat, Made melihat juga hubungan lingkungan dan hasil kebudayaan setempat.
Timnya menjumpai nyiru, kerajinan masyarakat berupa alat rumah tangga dari anyam-anyaman bambu yang digunakan untuk menapi beras atau biji-bijian lainnya.
“Sebelum terjadi letusan,” ungkap Made di akhir laporan penelitiannya, “wilayah Tambora merupakan kawasan yang sangat subur dengan sumber daya yang melimpah, serta berkembangnya kerajinan masyarakat.”