Di tengah jalanan ramai ada empat laki-laki tertawa dan berpose. Satu orang di antaranya mengenakan rok mini merah bermotif polkadot hitam, kaus kaki hitam sampai lutut, dan sarung tangan merah. Pria lainnya bertelanjang dada, dan tampak mengetulkan otot-otot dada dan bisepnya secara berlebihan, bak binaragawan.
Semangat pesta tiada akhir. Itulah yang dapat saya rasakan di Salvador, Brasil. Kota pelabuhan di pantai timur laut Brasil ini telah menjadi melting pot dari orang Indian, Eropa, serta Afrika yang dahulu didatangkan sebagai budak pekerja — dengan segala agama dan adat campur baur di dalam kelembaban iklim zona hutan hujan ini.
Parade jalanan, seni, dan musik mewarnai ritme kehidupan di Salvador. Alhasil, dari sejarah sebagai "Kota Juruselamat Semua Orang Kudus", Salvador bertransfromasi menjadi kota dengan julukan "Ibukota Kebahagiaan"-nya Brasil. Bangsa Portugis pasti memiliki gambaran yang berbeda ketika mereka mendirikan Salvador sebagai ibukota perdana Brasil. Mereka mengadopsi ajaran gereja Katolik untuk pilar-pilar moralitas dan kebajikan, atau setidaknya etos kerja takut-akan-Tuhan.
Saya putuskan untuk melihat apakah ada penduduk setempat yang mungkin bersedia mengajar saya bagaimana kegilaan berpesta layaknya seorang Salvadoran.
Pemandu saya, Conor O'Sullivan, menyetir menuju ke kota Maragogipe, di mana saya menemukan para perajin yang membuat topeng dan kostum yang biasanya muncul dalam perayaan karnaval. "Di sini, orang-orang bilang bahwa orang yang keluar rumah tanpa topeng cuma orang yang yang belum lahir saja," seloroh salah satu perajin. Saya pun membeli dua topeng. Alih-alih menahan malu saat berfoto bersama dan hanya saya yang minus topeng...
Namun melebihi kostum meriah, cara untuk berekspresi adalah entakan musik yang memenuhi suasana tiap pesta. Dan di Brasil ini, musik tak lain berarti samba.
O'Sullivan mengajak saya ke sebuah venue musik populer untuk menyaksikan grup band Cortejo Afro, yang memadukan musik tradisional Afrika dengan samba khas Brasil, dan disertai macam-macam gerak tari.
Kemudian saya diantar menjumpai pemain perkusi kenamaan Salvador Giba Conceição, di rumahnya. Ia membawa saya ke sebuah ruangan. Isinya penuh: drum, shaker, kerincingan, dan segala tetek bengek sepanjang alat itu bisa dimainkan dengan memukul sesuai dentaman. Ia juga mendemonstrasikan pada saya keterampilannya dengan berbagai shaker sambil sekaligus menari, skill yang kiranya lebih sulit daripada berjalan dan mengunyah permen karet bersamaan.
Hanya saja, setelah banyak mencoba praktik, saya masih tidak dapat menyesuaikan irama, paling tidak secara konsisten. Terutama waktu Conceição menambah sinkopasi guna memberikan 'tekstur' dan 'rasa' —esensi dari musik Salvador.
Tetapi ia mengajarkan saya yang terpenting tentang hakikat berpesta di Salvador, yakni bahwa ruh pesta hadir karena kesamaan pesan dan kesatuan hati dari orang-orang yang ada di jalan raya, berkumpul, berpesta pora.
Jadi satu hal saya pahami. Pesta ini bukan hanya soal seberapa jago berdansa, atau bermain drum, atau bernyanyi, atau bahkan bercakap-cakap dalam bahasa mereka. Melainkan, kesediaan untuk berbagi momen bersama mereka. Maka Salvadorans senang hati menyambut Anda ke pesta.