Menyesapi Alam dalam Keheningan Toba

By , Sabtu, 12 Oktober 2013 | 10:00 WIB

Sungguh menyenangkan bertandang ke Danau Toba yang menguarkan nuansa klasik. Gondang Sigale-gale dan para pelaku kesenian berbusana tradisional ditambah sampiran ulos seolah mam-pu menghentikan modernitas.

“Let’s the day goes by,” tukas Peter Ellis, lelaki asal Slough, sekitar sejam perjalanan berkereta dari London, ibu-kota Britania Raya. Ia saya temui tengah menyimak ornamen rumah Batak usai pertunjukan Gondang Sigale-gale.

“Bila sedang berada di Sumatra Utara dan jenuh dengan kota besar seperti Medan, Toba adalah pilihan saya. Mau trekking, tinggal pilih salah satu bukit. Bila kepanasan, cukup berenang. Ingin nuansa tradisional, ada Huta Bolon Simanindo.”

Yang disampaikan Peter Ellis tidak berlebihan. Bertandang ke Danau Toba se-asa membuat “hormon bertualang” saya mengalir makin deras. Destinasi sudah terasa keasyikannya saat rencana masih ada dalam benak. Tersedia beberapa rute alternatif menuju telaga yang terbentuk dari kaldera raksasa hasil erupsi vulkanik jutaan tahun lampau itu.  Sebutlah jalur utara yang melewati Brastagi, Tigapanah, Merek dan Tongging dengan perhentian di air terjun Sipiso-piso. 

DI LAIN WAKTU, saya dan pasangan pernah menyusur jalan raya utama Ambarita menuju Nainggolan, satu daerah di bagian selatan Pulau Samosir. Kami diundang seorang lelaki muda untuk singgah di salah satu makam keluarga, ber-jarak lima meter dari jalan raya.

“Mari, silakan Kakak dan Abang naik sini,” ajak Yuzak Hamonangan, saat kami turun dari Kijang milik Gordon Gultom. Ada tangga kecil menuju lantai dua, setelah kami mencapai teras di lantai dasar dindingnya berornamen patung lelaki dan perempuan mengenakan ulos.

Yuzak menjelaskan, bentukan artistik sepasang manusia itu menggambarkan nenek moyangnya yang menurunkan anak-cucu di tanah Samosir. Setiap anggota keluarga wafat, dimasukkan dalam peti dan disimpan di lantai dua.

“Bila tinggal kerangka, dikumpulkan menjadi satu dengan tulang belulang pendahulunya, sehingga peti yang digunakan sementara itu dapat dipindahkan atau digunakan untuk penghuni baru.”

Sebuah penjelasan yang bagi saya dan pasangan cukup mendirikan bulu kuduk. Yuzak memahami perasaan kami dan tersenyum saat kami melontarkan tanya; apakah kamu tidak takut?

“Saya sudah terbiasa sejak kecil, melihat upacara pemakaman ser-ta mengangkat tengkorak. Itulah proses hidup, dan ayah saya berkata; kepergian hanya jasad, sementara jiwa tetap berada di tempat-tempat yang disukai seseorang semasa hidupnya. Bagi kami, orang Batak Toba, di sinilah lokasi bersemayam itu; Tau Toba Na Uli.”

*Artikel ini merupakan bagian dari artikel Dalam Keheningan Toba yang pernah terbit dalam National Geographic Traveler Indonesia edisi Mei 2011.