Manado dalam Secangkir Kopi (I)

By , Sabtu, 12 Oktober 2013 | 11:00 WIB

Kalau ada anggapan bahwa kedai kopi adalah tempat paten bagi para lelaki untuk bercakap-cakap sembari menikmati kopi, maka di Manado tidak selalu demikian. Pada suatu petang, ketika kaki mengembara bersama surutnya matahari ke peraduan, saya menemui kedai Billy’s yang ramai didatangi perempuan.

Heran, entah ke mana para lelaki sore itu. Di seberang saya, beberapa perempuan duduk dan bercakap-cakap hangat. Mungkin saja mereka tengah menggelar arisan. Serasa ada yang “hilang” dalam atmosfer ini; pemandangan para lelaki tenggelam dalam keasyikan menyesap kopi, duduk nyaman terkadang sembari mengangkat salah satu lutut dan bibir mengepulkan asap sigaret dengan nikmat.

Penampilan si kedai kopi sendiri terbilang sederhana. Terdapat beberapa meja kayu dilengkapi kursi plastik, ditambah lemari saji berkaca bening sehingga bermacam jenis kue tradisional dan cake terlihat jelas, serta sebuah sudut di mana terdapat peralatan menyeduh kopi serta rak susun berisi cangkir-cangkir dan piring kecil.

Saya memesan dua potong brownies serta secangkir kopi susu—“dampak” dari keikutsertaan dalam ekspedisi wisata National Geographic Traveler tahun lalu ke Banda Aceh, yang membuat saya mendoyani sanger; bubuk kopi diseduh air mendidih dan diberi susu kental manis. 

Kak Irma, salah satu pramusaji Billy’s mengantar pesanan saya sembari berkomentar, “Banyak tamu dari Jakarta ke sini, senang memotret-motret peranti kami membuat kopi. Padahal peralatannya serba biasa.”

Ia menambahkan, tidak jarang kaum perempuan juga bertandang ke Billy’s. “Bahkan pemilik rumah kopi ini pun seorang nenek,” jelasnya. Sayang, hari itu sang empunya sedang bepergian, sehingga belum dapat bertegur sapa dengan beliau. Menurut Kak Irma, para lelaki sudah memadati Billy’s sejak pukul lima pagi sampai sore hari.

“Sedang kaum perempuan biasanya berkunjung siang sampai menjelang petang, terkadang sepulang kantor dan tinggal sampai kedai ditutup pukul tujuh nanti. Biasanya mereka datang beramai-ramai.”

Tidak berapa lama, Francine Nikowski, seorang pejalan perempuan berdarah paduan Italia dan Polandia duduk bergabung satu meja dengan saya.

Sebagai sesama penyuka kegiatan backpacking, kami cepat akrab dan sama-sama merasakan “keunikan” kedai kopi tradisional Billy’s, demi melihat para perempuan duduk berlama-lama di sini. Sembari menyesap kopi dan menikmati brownies, Francine dan saya berbagi nostalgia Manado.

*Artikel ini merupakan petikan dari artikel berjudul sama dari National Geographic Traveler Indonesia edisi Mei 2011.