Berbincang Manado, tidak semata menyoal dunia bawah lautnya. Bila cuaca terik menyengat, rehat di Danau Linow atau Danau Tondano menjadi sebuah pilihan. Francine, rekan saya berbincang di warung kopi, sepakat soal bepergian ke luar kota barang sejenak untuk menikmati keindahan alam pegunungan milik Sulawesi Utara.
Favoritnya adalah Danau Linow karena warna-warna elok terpapar pada permukaan air, mulai kehijauan sampai kebiruan. Saya sendiri menyukai Danau Tondano, di mana pada boulevard mendekati telaga yang berpagar Bukit Tampusu, Gunung Masarang dan Kaweng serta Pegunungan Lembean itu terdapat penjaja satai keong air tawar.
Bahasa setempat menyebutnya sebagai “kolobi” dan biasa dihidangkan bersama sambal rica-rica serta tumis pakis. “Persamaan dari kedua danau itu, suasananya tidak berubah drastis dari waktu ke waktu. Bahkan di Danau Tondano, saya masih bisa menyaksikan anak-anak lelaki berlarian dan berlompatan masuk ke air,” bilang Francine. “Pemandangan ini menghangatkan kenangan saya.”
Masih satu lintasan dengan kedua danau, adalah persinggahan di Tomohon, si kota bunga. Sebuah predikat yang laik diapresiasi, karena aktivitas jual-beli bunga menggerakkan roda perekonomian setempat, sekaligus membuka peluang dagang lebih besar karena dari salah satu penjaja bunga di Jalan Kakaskasen, Tomohon Utara, saya beroleh keterangan bahwa bebungaan yang dijual di daerah ini tidak sebatas hasil tanam para petani setempat saja, tetapi didatangkan dari beberapa daerah di tanah Jawa.
Perayaan turnamen bunga juga digelar berkesinambungan pada bulan Juli, saat Tomohon merayakan hari jadi atau berulangtahun. Dari kota ini, terlihat pemandangan elok Gunung Lokon (1.580 mdpl).
Perjalanan menggunakan kendaraan dapat dilakukan sampai pada kakinya, di mana lintasan melewati perkebunan milik warga setempat yang ramah menyapa pengunjung. Dalam perjalanan kembali, saya melewati kompleks waruga atau makam batu dari Opo Mandagi, Opo Lasut, Opo Worang, Opo Rumondor dan beberapa lagi—suatu hal yang luput dari pengamatan pada kedatangan-kedatangan sebelumnya.
Bisa jadi, dikarenakan lokasi warga pilihan saya selalu yang berlokasi di Airmadidi dekat kaki Gunung Klabat (2.022 mdpl). Saya gemar bertandang ke sana, pada sebuah kompleks pemakaman kuno di mana batu-batu utuh dibuat menjadi sarkofagus dan ditatah ukiran berornamen penuh makna.
Bila sudah menginjakkan kaki ke Airmadidi, maka Pulau Lembeh—tidak jauh dari Bi-tung—dan kawasan cagar alam Tangkoko –Batuangus – Dua Sudara yang dihuni tarsius (Tarsius spectrum) serasa hanya selangkah bagi saya dan pasangan.
Ke sanalah kami pergi, bila ingin berinteraksi lebih dekat dengan alam, sekaligus memaknai, begitu banyak des-tinasi yang dapat dicapai dari Manado.
Tidak terasa, kopi dalam cangkir saya dan Francine sudah habis tak tersisa. Sementara kedai juga bersiap tutup untuk kemudian buka kembali esok hari. Ingin rasanya kami berada di sini beberapa jenak lagi, namun tidak bisa.
Ah, kenangan Manado masih menguar di kepala saat melangkah bersama Francine, untuk kemudian berpisah di ruas Samrat atau Jalan Sam Ratu-langi. Petang sudah turun sempurna kini.
*Artikel ini merupakan petikan dari artikel berjudul sama dari National Geographic Traveler Indonesia edisi Mei 2011.