Pernahkah terbersit di benak saat bepergian ke salah satu ibu kota negara tetangga—paling terasa adalah Singapura—“Jakarta punya apa?”
Sebuah perbandingan yang sebenarnya perlu ditelaah kembali, karena infrastruktur, lingkungan dan tata ruangnya berbeda. Tetapi di sisi lain, kita memang harus selalu berbenah dan melakukan city branding demi pintu gerbang negara kita.
Jumlah wisatawan lokal yang mengunjungi Jakarta periode Januari sampai Agustus 2013 menunjukkan pertumbuhan sebesar 10,8 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Pejalan ini digolongkan menjadi dua kategori: trip bisnis sebesar 61 persen dan leisure sebanyak 39 persen.
Bagaimana pun kenaikan dalam persen tadi merupakan hal menggembirakan, di tengah pertumbuhan pariwisata yang bisa menurun atau negatif. Harus diakui, pariwisata dan kebudayaan merupakan tulang punggung dari aktivitas ekonomi.
Mari kita tilik momentum yang dimiliki Jakarta untuk mengembangkan pariwisata dan city branding. Pariwisata versi saya adalah akumulasi atau puncak-puncak layanan dari aktivitas turisme di sebuah tempat. Layanan ini meliputi infrastruktur seperti transportasi, telekomunikasi, informasi sampai hospitality atau keramahtamahan.
Bila sebuah destinasi diharapkan menjadi suatu tempat yang banyak dikunjungi, memiliki daya tarik tinggi dan kompetitif terhadap destinasi lain, maka kondisinya harus disiapkan dengan saksama. Artinya, seluruh sudut kota Jakarta harus membentuk lingkungan-lingkungan turistik yang memenuhi unsur bersih, indah, bagus secara estetika, aman, tertib dan nyaman.
“Rumah” bersih, terawat, bebas dari grombyangan (ribut) dan dipenuhi keramahtamahan ini adalah untuk penduduk kota itu sendiri. Bila pada akhirnya mampu menarik perhatian tamu, anggaplah sebagai bonus. Di sini berlaku pepatah: bila merasa senang, tamu pasti datang dan kembali lagi.
Keberadaan sebagai kota urban dengan beragam kebudayaan serta memiliki potensi industri kreatif adalah kekuatan Jakarta. Inilah yang harus dikembangkan sehingga Jakarta memiliki diferensiasi kuat. Bila ibu kota-ibu kota di berbagai negara—khususnya yang setara dengan kita di Asia Tenggara seperti Bangkok, Kuala Lumpur dan Singapura—mengembangkan capital tourism nya secara all out, kita juga bisa bergerak dengan mengekspos kondisi Jakarta yang multikultur dalam sebuah gerakan kebudayaan.
Jakarta memiliki 19 kawasan destinasi dengan klaster-klaster titik wisata. Bila semua dikelola dan kondisi ketertibannya dijaga agar aman dikunjungi, dijamin pengunjung akan merasa betah.
Itu dari segi prasarana. Kini kita tilik sarananya. Selain memerlukan ikon-ikon baru, kita juga melakukan revitalisasi dari potensi-potensi yang sudah ada. Unggulan yang sudah mulai dikembangkan adalah Kota Tua, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM), Pusat Budaya Betawi (PBB) di Setu Babakan dan Kepulauan Seribu.
TIM akan dibuat lebih hijau, lebih terbuka ruangnya dengan aktivitas lebih beragam. Sementara PBB merupakan apresiasi terhadap kebudayaan lokal Betawi dan Kepulauan Seribu memiliki keunikan tersediri, karena gugusan kepulauan itu berlokasi di Teluk Jakarta yang tidak terlalu jauh untuk dikunjungi.
Kita juga perlu membuat strategi pengembangan produk. Fokusnya adalah berbagai pergelaran berbasis budaya. Diharapkan, aktivitas ini dapat menjadi bagian dari city branding. Seperti membuat Jakarta Night Festival saat Jakarta berulang tahun dan tahun baru.
Di sisi lain, juga perlu dikemas event berskala internasional. Seperti World Royal Heritage atau Festival Budaya Keraton Sedunia yang rencananya digulirkan akhir 2013. Ada Forum Silaturahmi Keraton Nusantara dengan anggota mencapai 138 istana di seluruh Indonesia yang bakal kita undang, ditambah berbagai negara yang totalnya mencapai 25 kerajaan. Formatnya adalah pameran, workshop, cultural performance dan karnaval.
Tulisan ini merupakan nukilan dari rubrik "Sudut Pandang" National Geographic Traveler edisi November 2013