Kejadian Juli 2019 itu begitu diingatnya, ada seorang pengembom diri yang berjalan di depan mobilnya. Saat itu, dalam laporan BBC, memang ada penyerangan beberapa fasilitas militer dan pemerintahan lewat bom yang dilakukan Taliban.
"Dia sepertinya mabuk," kenang Marshal. Sesaat itu juga seorang polisi langsung menangkap dan melepaskan rompi peledaknya.
"Orang-orang berpendidikan menjadi sasaran karena kami dianggap telah mengubah negara," tambahnya. Apa lagi dirinya memiliki risiko tinggi karena sempat bekerja untuk Amerika. Ia bersama istrinya telah meninggalkan Afganistan pada Desember 2020 untuk menerima beasiswa di Jerman.
Beberapa pejabat di Barat juga berusaha keras membawa ratusan cendekiawan Afganistan bersama keluarganya untuk dapat terbang meninggalkan Kabul.
Termasuk, tim robotika Afghanistan yang terdiri dari beberapa wanita berusia 15 hingga 19 tahun, yang berhasil mendapatkan ketenaran beberapa tahun terakhir dalam kompetisi internasional. Melansir BBC, tim itu berhasil berangkat dengan pesawat ke Qatar.
Baca Juga: Sejarah Taliban yang Membangun Negara Islam Fundamental di Afganistan
"Ketika kami mendengar bahwa Kabul akan jatuh, kami dapat menghubungi kementerian [luar negeri Qatar] dan mereka segera mulai mempercepat visa untuk mengeluarkan mereka (tim robotik)," kata anggota dewan Digital Citizen Fund (DCF) Elizabeth Schaeffer Brown. "Mereka merawat tim dengan sangat baik."
Sebelumnya, tim robotik itu dipuji secara luas sebagai gemilang potensi pendidikan perempuan di Afganistan. Mereka berhasil membuat ventilator murah untuk pasien COVID-19 dan suku cadang mobil.
Brown menjelaskan, bahwa para gadis itu tidak "diselamatkan", tetapi "Gadis-gadis itu menyelamatkan diri mereka sendiri melalui semua kerja keras dan keberanian mereka selama beberapa tahun terakhir," tambahnya. "Penerbangan keluar dari Kabul hanyalah akhir dari perjalanan ketika keselamatan menjadi fokus."
Baca Juga: Hashshashin, Pembunuh Terampil Sekte Muslim Rahasia Persia dan Suriah
Beberapa anggota tim yang menetap di Qatar kemungkinan akan dipindahkan untuk melanjutkan studinya. Beberapa anggota dan mantan lainnya masih berada di Afganistan bersama guru, mentor, dan orang lain yang bekerja untuk organisasi.
Melalui surat 18 Agustus yang ditandatangani 2.500 orang, Robert Quinn, direktur eksekutif Scholar at Risk (SAR), mendesak Menterl Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken untuk melonggarkan persyaratan visa bagi warga Afganistan untuk evekuasi, hingga semua cendekiawan, pelajar, dan pegiat masyarakat sipil pergi.
Mayar juga mengantisipasi bahwa rezim Taliban yang berkuasa tidak mungkin membayar gaji pada kampus, dan staf universitas seperti yang terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Lantaran, situasi saat ini membuat Taliban kekurangan uang.
"Ada juga potensi tinggi bahwa fasilitas akademik akan dijarah,” kata Alex Dehgan, mantan ketua Wildlife Conservation Society yang pernah mendirikan taman nasional pertama di Afganistan: Band-el-Amir. "Sangat sulit untuk melihat apa yang terjadi sekarang."
Baca Juga: Bagaimana Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Penjajahan Belanda?