Nationalgeographic.co.id—Pertengahan bulan ini, kelompok Taliban berhasil menguasai pemerintahan Afganistan dalam waktu yang cepat, setelah sebagian besar Amerika Serikat menarik diri atas perintah Presiden Joe Biden.
Sementara presiden Afganistan, Ashraf Ghani telah kabur menuju Tajikistan, negara tetangganya. Dengan 'jatuhnya' kekuasaannya, banyak pihak yang memperikrakan Taliban akan melakukan pembatasan keras pada kehidupan masyarakat Afganistan, dengan hukum keras yang dipahaminya.
Sementara, masalah lain yang dapat berdampak pada kekuasaan itu adalah bidang sains dan pendidikan Afganistan. Meski Taliban, dalam pernyataannya, berjanji untuk memoderasi pandangan mereka untuk kehidupan yang berkeadilan bagi masyarakat sipil, di bawah hukum syariah.
Mengutip dari Associated Press, 2014 lalu sebuah restoran tempat karyawan American University of Afghanistan di Kabul makan siang mendapatkan serangan senjata dan pengeboman. Dilaporkan 21 orang tewas dalam serangan tersebut, termasuk menewaskan Lexie Kaerman, karyawan kampus dari Amerika Serikat.
Baca Juga: Berulang Kali Kuasai Afganistan, Apa yang Sebenarnya Taliban Inginkan?
Selanjutnya pada 2016, melansir kabar dari NBCNews, dua orang profesor di kampus tersebut diculik pada 7 Agustus. Keduanya baru dilepaskan pada November 2019 setelah ditukar dengan tiga tahanan Taliban.
Serangan juga terjadi pada 24 Agustus yang dilakukan oleh tiga pria bersenjata dan meledakan bom di kampus. Akibatnya tujuh mahasiswa, satu polisi, tiga penjaga keamanan kampus, seorang profesor, dan penjaga dari sekolah sebelah American University of Afghanistan.
Meski para pelaku berhasil dilumpuhkan, pihak kepolisian saat itu belum mendapatkan informasi tentang siapa dibalik aksi tersebut, dikutip dari Arab News.
"Masa depan sangat gelap" bagi para cendekiawan, kata Mohammed Aseem Mayar, seorang ilmuwan pengelolaan air di Kabul Polythechnic University, dikutip dari Science. Dia saat ini juga bekerja sebagai dengan para ilmuwan di University of California dan the U.S Geological Survey untuk membangun model risiko banjir di Afganistan.
Baca Juga: Perang Uni Soviet-Afganistan, Awal Kisah Perlawanan Taliban
Mayar bercerita, dirinya beruntung mendapatkan bantuan dari University of Stuttgart untuk pergi ke luar negeri. Tetapi rekan-rekannya yang masih berada di Afganistan, merasa takut akan hari-hari mendatang.
Salah satunya adalah seorang perempuan insinyur di Avicenna University. Dia harus kabur dari apartemennya bersama keluarganya awal pekan ini.
"Taliban datang dari pintu ke pintu mencari kami," kata seseorang yang tidak ingin diungkap namanya. Sebenarnya dia dan keluarganya sudah mengajukan permohonan visa Amerika Serikat enam tahun lalu, tetapi belum ada tanggapan.
Kini ia mengandalkan rekan-rekannya di Amerika untuk menariknya keluar negeri. Dia mengatakan bahwa tidak ada harapan lagi untuk bertahan hidup di Afganistan, dan memprediksi hak hidup perempuan "akan memudar dan tersingkirkan."
Selain itu Khyber Mashal (nama samaran) mengisahkan ceritanya yang hampir terbunuh Taliban dua kali. Upaya pembunuhan itu terjadi pada 2009 di Gardez, bagian tenggara Afganistan, dan 2019 saat dia bekerja di Kementerian Pendidikan.
Baca Juga: Polemik Sci-Hub: Penolong atau Penghambat Perkembangan Sains Dunia?
Kejadian Juli 2019 itu begitu diingatnya, ada seorang pengembom diri yang berjalan di depan mobilnya. Saat itu, dalam laporan BBC, memang ada penyerangan beberapa fasilitas militer dan pemerintahan lewat bom yang dilakukan Taliban.
"Dia sepertinya mabuk," kenang Marshal. Sesaat itu juga seorang polisi langsung menangkap dan melepaskan rompi peledaknya.
"Orang-orang berpendidikan menjadi sasaran karena kami dianggap telah mengubah negara," tambahnya. Apa lagi dirinya memiliki risiko tinggi karena sempat bekerja untuk Amerika. Ia bersama istrinya telah meninggalkan Afganistan pada Desember 2020 untuk menerima beasiswa di Jerman.
Beberapa pejabat di Barat juga berusaha keras membawa ratusan cendekiawan Afganistan bersama keluarganya untuk dapat terbang meninggalkan Kabul.
Termasuk, tim robotika Afghanistan yang terdiri dari beberapa wanita berusia 15 hingga 19 tahun, yang berhasil mendapatkan ketenaran beberapa tahun terakhir dalam kompetisi internasional. Melansir BBC, tim itu berhasil berangkat dengan pesawat ke Qatar.
Baca Juga: Sejarah Taliban yang Membangun Negara Islam Fundamental di Afganistan
"Ketika kami mendengar bahwa Kabul akan jatuh, kami dapat menghubungi kementerian [luar negeri Qatar] dan mereka segera mulai mempercepat visa untuk mengeluarkan mereka (tim robotik)," kata anggota dewan Digital Citizen Fund (DCF) Elizabeth Schaeffer Brown. "Mereka merawat tim dengan sangat baik."
Sebelumnya, tim robotik itu dipuji secara luas sebagai gemilang potensi pendidikan perempuan di Afganistan. Mereka berhasil membuat ventilator murah untuk pasien COVID-19 dan suku cadang mobil.
Brown menjelaskan, bahwa para gadis itu tidak "diselamatkan", tetapi "Gadis-gadis itu menyelamatkan diri mereka sendiri melalui semua kerja keras dan keberanian mereka selama beberapa tahun terakhir," tambahnya. "Penerbangan keluar dari Kabul hanyalah akhir dari perjalanan ketika keselamatan menjadi fokus."
Baca Juga: Hashshashin, Pembunuh Terampil Sekte Muslim Rahasia Persia dan Suriah
Beberapa anggota tim yang menetap di Qatar kemungkinan akan dipindahkan untuk melanjutkan studinya. Beberapa anggota dan mantan lainnya masih berada di Afganistan bersama guru, mentor, dan orang lain yang bekerja untuk organisasi.
Melalui surat 18 Agustus yang ditandatangani 2.500 orang, Robert Quinn, direktur eksekutif Scholar at Risk (SAR), mendesak Menterl Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken untuk melonggarkan persyaratan visa bagi warga Afganistan untuk evekuasi, hingga semua cendekiawan, pelajar, dan pegiat masyarakat sipil pergi.
Mayar juga mengantisipasi bahwa rezim Taliban yang berkuasa tidak mungkin membayar gaji pada kampus, dan staf universitas seperti yang terjadi pada pemerintahan sebelumnya. Lantaran, situasi saat ini membuat Taliban kekurangan uang.
"Ada juga potensi tinggi bahwa fasilitas akademik akan dijarah,” kata Alex Dehgan, mantan ketua Wildlife Conservation Society yang pernah mendirikan taman nasional pertama di Afganistan: Band-el-Amir. "Sangat sulit untuk melihat apa yang terjadi sekarang."
Baca Juga: Bagaimana Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Penjajahan Belanda?