Memacu Keberuntungan di Rumah Sang Raja Rimba (I)

By , Sabtu, 19 Oktober 2013 | 09:00 WIB

Deg! Jantung saya berdegup keras. Sesaat langkah saya terhenti tiba-tiba. Saya mengamati seksama jejak-jejak satwa yang tercecer di tanah basah di tepian sungai. Saya terperanjat! Ini tapak yang sama dengan jejak yang saya jumpai pada saat hari pertama penjelajahan. Empat jari kaki dan telapak kaki begitu banyak terserak. Tapak harimau sumatra!

Sejurus, lidah saya kelu. Saya seorang diri di sini, di sebuah persimpangan jalan setapak. Rekan-rekan perjalanan telah lebih dahulu menghilang. Lantas, saya menengadah. Pepohonan menjulang bagaikan mencakar langit, sementara jalinan akar yang kokoh menopang paru-paru hijau ini. Saya tiba-tiba merasa kerdil di tengah belantara tropis Sumatra.

Keringat dingin yang membasahi tubuh telah melenyapkan rasa asyik saya saat mendokumentasikan keindahan vista dan isi belantara Bukit Tigapuluh. Kawasan konservasi dengan status taman nasional ini terbentang lebih dari 144 ribu hektare yang melintasi dua provinsi: Riau dan Jambi.

Saya mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk. Saya ingin melupakan bahwa sang raja rimba adalah pemangsa puncak di belantara. Yang seharusnya berada di posisi yang sama dengan saya. Berbalik arah dengan tergesa, saya berharap dapat mengejar rombongan yang mungkin berbelok arah memilih mengitari sungai. Terduduk sejenak, saya berusaha mengatur napas yang tersengal-sengal sementara kerongkongan kian tercekat.

“Iiiiii!” saya memekik lirih. Suara saya terpantul di antara pepohonan. Ah, syukurlah. Ada jawaban di sana. Saya pun mendapatkan pertanda: rombongan tidak terlampau jauh. Setelah hampir satu jam terpisah akhirnya saya bergabung kembali dengan tim.

Putra menyambut saya dengan tawa berderai. Pemuda yang bekerja untuk Frankfurt Zoological Society (FZS) berseloroh, “Ternyata kehidupan keras Ibu Kota masih kalah menakutkan dari melihat tapak harimau ya, bang?” Kontan, rekan perjalanan lainnya terbahak. Saya pun tidak memedulikannya. Saya hanya mengucap syukur dan kembali menikmati perjalanan pulang dari hulu Sungai Kademitan yang membelah taman nasional.

Perjalanan saya memang mengasyikkan. Kawasan Bukit Tigapuluh memuaskan dahaga saya akan lanskap dan beragam pilihan subyek fotografi. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi dan Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh serta FZS telah melakukan pelepasliaran orangutan sumatra di kawasan ini sejak 2002. Menurut data yang ada, lebih dari 150 orangutan yang telah dilepasliarkan. Saya merasa beruntung dapat mengikuti kegiatan ini.

Keberuntungan pertama yang sekaligus membuat jantung berdegup kencang, itu tadi menjumpai tapak raja rimba seorang diri di tengah belantara. Yang berikutnya, mencicipi wisata berkelanjutan yang melibatkan komunitas setempat. Betapa tidak, saya mendapatkan pengalaman baru tentang hutan dari masyarakat Suku Talang Mamak, yang menggantungkan hidup pada keseimbangan ekologi lingkungan.

Sebagian besar warga Suku Talang Mamak  masih menganut kepercayaan animisme. Mereka memercayai ruh yang mendiami pohon besar dan hutan. Dengan demikian, menjaga kelestarian hutan merupakan bagian dari kearifan lokal dan kehidupan mereka.

Pembauran dengan komunitas lain membuat sejumlah anggota suku ini memeluk agama Islam, misalnya menikah dengan warga muslim. Bagian komunitas Suku Talang Mamak yang memeluk agama Islam sering disebut sebagai warga Melayu Tua.

*Artikel ini pernah diterbitkan dalam National Geographic Traveler edisi Januari 2012.