Dwi Rupa Danau Raksasa

By , Sabtu, 19 Oktober 2013 | 13:00 WIB

Terik mentari menyirami tanah Siem Reap. Sinarnya membangkitkan gairah petualangan saya di Semenanjung Indochina. Berada di tepi Pub Street, saya menyelesaikan semangkuk Amok – makanan lokal, sejenis soto gurih yang disantap dengan nasi hangat. Saya segera beranjak memanggil Goh, pengemudi tuk-tuk yang saya tumpangi. Lelaki berusia 36 tahun ini berjanji mengantarkan saya siang itu. Tujuan saya hari itu, mengarah ke selatan yang menjauhi Siem Reap. Saya  ingin mendatangi danau air tawar terbesar yang ada di Asia Tenggara. Namanya, Tonle Sap. Di tempat ini, saya ingin menyaksikan dari dekat bagaimana perairan terpenting Kamboja menumbuhkan peradaban sekitarnya. Ada dua wajah Tonle Sap. Begitu penghujan tiba, perairan ini menjadi empat kali lebih luas. Tonle Sap tidak hanya sekadar danau raksasa yang luas mencapai 16.000 kilometer persegi. Tempat ini menyangkut sistem sungai yang membawa banjir dari Sungai Mekong, yang berhulu di Pegunungan Himalaya. Lalu, dataran banjirnya memainkan peran penting bagi persawahan dan perikanan. Fungsi ekosistem Tonle Sap menyeimbangkan ekologi sekitarnya, bahkan dirasakan pula bagi peradaban yang jauh darinya. UNESCO telah menetapkan danau ini sebagai cagar biosfer, lantaran lahan basah musimannya menjadi tempat singgah bagi burung-burung yang bermigrasi. Ketika kemarau, danau menyurut. Bagian yang tak terendam air membawa berkah bagi warga sekitar. Tanahnya subur untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Tonle Sap juga menjadi rumah beragam jenis ikan. Kegiatan perikanan memasok lebih dari separuh kebutuhan protein hewani di negeri Kerajaan Khmer ini.

Maka, saya pun beruntung dapat mengamati dari dekat ekosistem lahan basah yang mampu menyokong peradaban ini. Dengan perjalanan sekitar setengah jam dari Siem Reap, akhirnya Tuk-tuk yang saya naiki melipir, di dermaga Tonle Sap.

Di depan dermaga sudah banyak kapal nelayan yang berjejer. Mereka semua menawarkan tur singkat ke dalam daerah Tonle Sap. Untuk sebuah tur, Anda diharuskan membayar sebesar US$15. Beberapa turis yang tiba berbarengan dengan saya langsung mengantre.

Petugas mengarahkan saya ke kapal milik Nok, bocah berusia 16 tahun yang penuh dengan semangat. Perahu nelayan itu akhirnya berlayar, menyusuri Tonle Sap. Saya tak hanya tertarik dengan ekosistem bawah air Tonle Sap. Di atas permukaan Tonle Sap, terdapat sebuah desa terapung yang cukup banyak menampung warga.

Seiring saya berlayar masuk lebih dalam ke Tonle Sap, saya mulai menemukan infrastruktur bangunan-bangunan, selayaknya sebuah kota. Perbedaannya, semuanya terapung di atas air. Saya menemukan sekolah terapung, gereja, bahkan sebuah lapangan basket yang terapung di atas air.

Bisa dipastikan, seratus persen dari warga berpindah tempat dengan cara mengayuh sampan kayu. Di atas sebuah sampan, seorang pemuda mengantarkan adiknya sekolah, mengayuh sampan dengan semangat. Salah satu bangunan yang menarik adalah sebuah pom bensin yang terapung di atas air. Banyak kapal bermesin yang menepi kesana dan mengisi bahan bakar.

“Dari manakah asal mereka?” Tanya saya kepada Nok. “Mayoritas dari mereka berasal dari Vietnam. Pada masa peperangan dari Amerika Serikat, banyak dari penduduk yang melarikan diri melalui Sungai Mekong, dan menetap di danau ini hingga hari ini.”

Di seberang saya terlihat sekelompok anak sedang mengayuh sampan ke arah sekolah terapung. Di depannya sudah terkumpul anak-anak yang siap untuk mengenyam pelajaran. “Semua orang harus bisa mengayuh sampan di sini,” ujar Nok sambil tersenyum simpul. Selama kapal kami berkeliling, tidak sedikit kami dihampiri oleh kapal lain yang meminta sumbangan, baik itu untuk sekolah, keluarga maupun perseorangan.

Salah satu cara paling baik untuk berkontribusi kepada masyarakat lokal yang ada di Tonle Sap adalah memberikan peralatan-peralatan yang mereka butuhkan. Anda bisa membeli beberapa peralatan sekolah, seperti alat tulis dan buku.

Dibandingkan Anda memberikan mereka uang, rasa-rasanya peralatan tulis jauh lebih dibutuhkan. Sesuai dengan bingkai geowisata, dengan terlibat langsung dengan masyarakat maka kita sebagai pejalan memberikan kontribusi nyata.

*Artikel ini pernah diterbitkan dalam National Geographic Traveler Indonesia edisi Januari 2012.