Minggu Depan, Pementasan Opera Batak Digelar di Jakarta

By , Jumat, 18 Oktober 2013 | 16:49 WIB
()

Alkisah, dalam sebuah legenda, Danau Toba terjadi karena pengingkaran janji. Seorang bernama Samosir pernah ingkar janji kepada istrinya, sebagai penjelmaan seekor ikan, karena kerakusan anaknya bernama Toba.

Kemarahan akan pengingkaran janji itu menimbulkan bencana dan hamparan sebuah danau yang indah. Keindahan itu kemudian dipesankan agar dijaga dan dipelihara.

Sebuah danau seperti Danau Toba yang ada di Sumatra Utara merupakan sumber air utama ke sekelilingnya dan pertanian yang dilalui aliran sungainya. Air danau menjadi air minum yang dijaga dengan upacara dan para perempuan. Mereka sangat dekat ke danau setiap hari. Jika danau semakin mengalami gejala pengrusakan maka para perempuan dan para ibu yang segera merintih. Rintihan itu akan terdengar sebagai pesan agar orang dapat mengetahui kenapa ada danau itu.

**

Demikian cukilan naskah dari Lena Simanjuntak-Mertes berjudul “Perempuan Di Pinggir Danau” (terjemahan Batak Toba: Borua Na Di Duru Ni Tao). Naskah ini akan pentas di Pulau Jawa, setelah sukses menggelar pementasan di Sumatra Utara. Beberapa kota yang bakal dikunjungi yakni Yogyakarta, Solo, dan Jakarta.

Opera Batak ini juga akan dipentaskan di Koeln, Jerman pada kegiatan “Batak Day” sebagai upaya memperkenalkan kebudayaan khas orisinal Batak. (Lihat: Opera Batak ke Pentas Modern)

Pementasan di Jakarta akan dilaksanakan pada tanggal 25 – 26 Oktober 2013 di Gedung William Soerjadjaya, Fakultas Kedokteran UKI, Cawang. Pertunjukkan ini berlangsung atas kerjasama Pusat Latihan Opera Batak (PLOt), Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Pelayanan Komunikasi Masyarakat Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (YAKOMA PGI).

"Pertunjukan ini menjadi menarik karena mengangkat tema tentang lingkungan, air dan perempuan sebab orang yang pertama sekali terkena dampak dari kerusakan lingkungan dan air adalah perempuan," ujar Tumpak Winmark Hutabarat, Koordinator Pementasan Jakarta, hari Jumat (18/10).

(Baca: Menyelamatkan Danau Vulkanik dengan Opera Batak)

Opera batak dianggap sebagai teater tradisi Etnik Batak yang berkembang pada sekitar tahun 1920-an sampai tahun 1980-an. Namun, bentuk seni pertunjukan ini mati suri selepas era 80-an akibat minimnya perhatian pemerintah — ditambah dengan munculnya radio dan televisi.

Pembuatan ulos biasanya memakan waktu satu minggu. Semakin besar kain tenun, tentu akan semakin lama pengerjaannya, yang juga akan menentukan harga jualnya (Bayu Dwi/NGI)

Pada sekitar tahun 2002 Opera Batak kembali direvitalisasi dan telah melahirkan satu grup percontohan di Tarutung dengan nama Grup Opera Silindung (GOS).

Kota Tarutung menjadi potensi bagi GOS mengawali program dan proyek revitalisasi Opera Batak. Penggalian ulang Opera batak yang dimulai tahun 2002 ini juga berkat kerjasama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Pada 2005 dilakukan pengembangan Opera batak revitalisasi itu dengan ide membuka Pusat Latihan Opera batak di Pematang Siantar. Tumpak mengatakan bahwa ada pun pemilihan tema lingkungan dalam naskah “Perempuan di Pinggir Danau” ini adalah menceritakan bagaiaman keindahan Danau Toba dan kelestarian ekologisnya yang saat ini berada dalam ancaman kerusakan.

Danau Toba sebagai sumber kehidupan orang Batak harus segera diselamatkan oleh masyarakat Danau Toba beserta segenap masyarakat Indonesia demi generasi mendatang.