Adrianus Eliasta Meliala, Guru Besar Kriminologi UI Depok, memaparkan alur pengungsi di Indonesia. Hal itu terkait dengan bagaimana mereka sampai di sini, bagaimana mereka di sini, dan bagaimana mereka diberangkatkan ke negara ketiga. ”Itu yang saya sebut dengan normal flow of imigrant,” ujar Meliala di kubikelnya.
Perihal mereka berangkat dengan agen penyelundup itu bukan masalah Indonesia.
”Motivasinya adalah Indonesia sebagai stepping stone. Jadi mereka datang dengan visa resmi dan menunggu waktu untuk lari dengan cara naik boat,” kata Adrianus bersemangat, ”Nah di situ bukan urusan kita.”
Permasalahan pengungsi di Indonesia baru muncul pada aliran bagaimana mereka di sini. Saat mereka berinteraksi dengan petugas detensi imigrasi, polisi yang menangkap dan menyidik mereka, IOM, UNHCR, ”Maka ’penyakit-penyakit’ Indonesia juga menular kepada mereka. Ada saja yang meminta pungutan liar kepada mereka,” kata Adrianus.
Pemberangkatan pengungsi juga menuai masalah. Pengungsi tidak mendapat suatu kepastian kapan mereka diberangkatkan UNHCR. Kalaupun sudah pasti, mereka tidak serta merta bisa berangkat karena harus menunggu visa, tiket, dokumen, tempat yang menampung.
Kenyataannya, ”Sekarang muncul situasi sesak, gara-gara proses normal flow-nya ngga jalan,” ujar Adrianus. Ketika aliran itu tersendat, maka timbul masalah sosial, psikologis, politis, dan ekonomi. ”Mereka berkelahi, mereka sakit-sakitan, mereka pacaran dengan orang setempat, mencuri barang-barang orang setempat. Itu suatu hal yang tidak perlu!”
Satu hal yang dikhawatirkan akibat lamanya waktu menunggu kepastian status dari UNHCR telah terjadi di Cisarua. Meski mereka tinggal untuk sementara, tak kuasa jua untuk jatuh hati dan menikahi dengan gadis pribumi.
Salah satu masalah dalam pengungsian adalah kegiatan seks, yang membuka peluang untuk seks tidak aman. Kasus pengungsi yang menderita gonore atau kencing nanah yang menjadi salah satu faktor risiko infeksi lain misalnya HIV sudah ditemukan di Indonesia, demikian menurut ahli kesehatan masyarakat, Fitra Yelda.
”Mereka yang datang kebanyakan laki-laki dan tidak membawa atau tanpa pasangan,” ungkap Fitra. ”Untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, mereka cenderung untuk mencari perempuan lokal ataupun pekerja seksual untuk dinikahi atau dijadikan pacar.”
Cuplikan kisah “Mencari Harapan ke Tanah Seberang” dalam National Geographic Indonesia edisi November 2011.