Perjuangan Pendidikan dari Warung Pasinaon

By , Minggu, 20 Oktober 2013 | 21:32 WIB

Pasinaon berasal dari kata 'sinau', yang artinya 'belajar' dalam bahasa Jawa. Dari kata itulah, Tirta Nursari terinspirasi menamakan wadah belajar yang didirikannya dengan Warung Pasinaon. Terletak di di desa Bergaslor, Semarang, Jawa Tengah, di tempat itulah Tirta Nursari memulai perjuangannya mendidik masyarakat tanpa memungut bayaran sepeser pun."Jadi, pintar itu enggak harus mahal, kok," kata Tirta Nursari. Ia mengaku tergerak untuk menggagas dan mendirikan sebuah ruang komunitas nonprofit lantaran sebagian masyarakat di desanya menganggap bahwa pendidikan adalah sesuatu yang mahal. Tak heran, muncul anggapan bahwa tidak setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Ketika anak-anak di desa itu berpikir kondisi ekonomi keluarga mereka tak lagi mampu membiayai pendidikan, mereka tidak tahu siapa yang akan bertanggung jawab membiayai sekolahnya. Beruntung, Tirta mengaku, dirinya punya banyak teman dan saudara yang mau diajak bersama-sama, bergandengan tangan memajukan kualitas pendidikan anak-anak desa yang sebagian besar adalah anak-anak buruh garmen. Tepatnya pada 2007, ia membentuk Warung Pasinaon. Tagline-nya tidak main-main; "Jadi pintar enggak harus mahal"!. "Karena semuanya gratis di tempat kami. Mereka bisa datang sesuka hati, bisa saling berinteraksi satu sama lain," kata Tirta, saat ditemu di Puncak Acara Hari Aksara Internasional, di Kantor Kemendiknas, Jakarta, Jumat (12/10/2013) lalu. Sebagai masyarakat yang saat itu telah memiliki kemampuan membaca dan menulis, Tirta merasa perlu berkontribusi melalui satu gerakan kecil, guna melestarikan kemampuan baca dan tulis. Ia percaya, kemampuan baca dan tulis memberi pengaruh sangat nyata dalam hidup seseorang. Untuk tujuan tersebut, Tirta memulainya dari anak-anak desa yang sehari-harinya jarang mendapat perhatian orangtuanya lantaran jadwal tidak menentu sebagai buruh pabrik. Tirta berinisiatif memberikan pendampingan belajar melalui pembentukan Warung Pasinaon tersebut. Di sana, anak-anak itu bisa menuangkan segala bentuk kreatifitas mereka, seperti bernyanyi, menari, mendongeng, membuat wayang boneka, dan keterampilan lainnya.Dengan berkumpul, berinteraksi, dan melakukan aksi kreatif, Tirta mengaku yakin, perlahan rasa kepercayaan diri akan muncul di dalam diri anak-anak tersebut. Pernah suatu ketika, tutur Tirta, anak-anak murid Warung Pasinaon mengisi acara menari di tingkat kabupaten. "Tiba-tiba saja ada insiden tape-nya mati," kisah Tirta. Saat itu, Tirta mengaku panik dan takut. Ia merasa, mental anak-anak akan jatuh dan mereka berhenti menari. Namun, tak disangka, lanjut dia, ternyata ada seorang anak yang berinisiatif untuk mengambil mikrofon. "Apa yang dilakukannya? Anak itu menyanyikan lagu untuk tarian tersebut. Anak itu menyanyi, dan teman-teman lainnya melanjutkan menari," kata Tirta. Melihat itu, Tirta mengaku sangat senang. Ia merasa, kepercayaan diri dan keberaniannya sudah tertanam pada diri anak-anak tersebut. "Walaupun mereka hanya anak buruh pabrik, kuli pasir, dan sebagainya, bukan berarti mereka tidak berhak mendapatkan pendidikan layak," ujarnya.Melatih kewirausahaan Seiring berjalannya waktu, Warung Pasinaon tak lagi hanya digunakan sebagai lokasi penampungan kreatifitas anak-anak. Lokasi "warung" yang merupakan rumah pribadi Tirta itu juga digunakan sebagai tempat berwirausaha para wanita dan ibu-ibu yang merasa kurang memiliki keterampilan. Salah satu keterampilan wirausaha di tempat itu adalah mengolah kaleng dan barang bekas menjadi sebuah polybag atau kantong belanja ramah lingkungan. Suatu ketika, pembantu rumah tangga (PRT) yang sehari-hari bekerja kepada Tirta mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia merasa sudah saatnya untuk 'naik kelas' dengan menjadi buruh di pabrik. Namun, saat itu itu, Tirta mengingatkan kepada pembantunya itu untuk tidak meninggalkan rumahnya dan kemudian menjadi buruh. "Kalau kamu jadi buruh pabrik, kamu akan jadi pembantu terus dan enggak akan naik kelas," kata Tirta. Akhirnya, si pembantu mengurungkan niatnya keluar dari rumah Tirta. Kini, ia malah berhasil membuat berbagai tas kain yang terbuat dari kain perca. Hasil karyanya itu bahkan sudah diperjualbelikan di unit usaha Universitas Diponegoro, Semarang.Satu waktu, Tirta melanjutkan, membaurnya anak-anak dan masyarakat yang sudah dewasa untuk berwirausaha di Warung Pasinaon ini pernah membuatnya kecele. Itu terjadi lantaran ada buku orang dewasa yang selayaknya tidak dibaca oleh anak-anak. Apa yang terjadi? Karena peristiwa itu, Tirta rela menggadaikan sertifikat tanahnya untuk membuat sebuah ruangan di samping rumahnya. Ruangan itu khusus digunakan untuk wirausaha remaja hingga dewasa. Sementara untuk mereka yang masih anak-anak, Tirta tetap merelakan penggunaan ruangan di rumahnya sebagai "warung" tersebut. Dengan pemisahan ruang itu, kini Tirta merasa lebih mudah mengawasi dan mengontrol buku-buku untuk orang dewasa agar jangan tidak jatuh ke tangan anak-anak itu lagi.

Laboratorium kehidupanTirta mengaku, dirinya merasa perlu terus bersyukur atas anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, di awal langkahnya membentuk Warung Pasinaon pada 2007 silam, hanya 14 anak yang mau belajar di sana. Lokasinya pun bukan di rumahnya, melainkan di sebuah mushala di desa Bergaslor. Di sana, anak-anak memiliki jadwal tetap, mulai dari belajar Bahasa Inggris, dongeng Nabi, dan diakhiri dengan Shalat Dhuha berjamaah. Namun, Warung Pasinaon di tempat ibadah itu hanya bertahan selama satu bulan. Saat itu, tak sedikit warga yang memandang kalau mushala tak boleh digunakan untuk kegiatan lainnya, selain beribadah. Karena belum memiliki rumah, Tirta pun memutar pikirannya, akan kemanakah Warung Pasinaon ini selanjutnya. Namun, Tirta mengaku, hambatan tempat tak boleh jadi penghalangpassion-nya untuk mengajarkan anak-anak. Beruntung, saat itu, masyarakat mulai memandang positif keberadaan Warung Pasinaon. Tak sedikit dari mereka yang menyediakan ruang tamu, garasi, maupun terasnya untuk dipergunakan melakukan kegiatan-kegiatan kreatif. "Kalau dihitung-hitung sudah empat kali pindah, dan yang kelima, akhirnya bisa dilakukan di rumah saya," ujar dia. Menjadi seorang pejuang pendidikan, lanjut Tirta, bisa dilakukan oleh setiap orang. Banyak orang saat ini memasrahkan buta aksara mereka pada para tutor maupun para pelaku praktisi di lapangan. Padahal, tutorial itu bisa diterapkan di rumah masing-masing. "Tidak perlu menjadi orangtua biologis untuk melakukan pendampingan pada anak-anak. Asalkan kita merasa sebagai orang tua yang dapat memberikan perhatian dan kepedulian kepada siapapun dengan cara apapun, maka persoalan bisa diminimalisir," ucapnya.Kini, walaupun telah memiliki Warung Pasinaon, Tirta masih memiliki mimpi besar untuk memiliki sebuah sekolah dengan laboratorium khusus, yang kelak ia namakan "laboratorium kehidupan". Di sekolah itu, ia bercita-cita, tak ada lagi batasan umur untuk mereka yang mau belajar. Tirta juga berharap, kelak di sekolah itu orang-orang bisa berwirausaha, selain bisa menulis, dan membaca. Ia mengatakan, akan ada empat literasi yang diingingkannya untuk menjadi kurikulum di sekolahnya itu, antara lain literasi budaya, kewirausahaan, kesehatan, dan edukasi formal. "Jadi, menurut saya, taman bacaan dan perpustaakan itu tidak hanya berkutat pada buku, menulis, dan membaca. Tetapi, bagaimana menulis dan membaca itu dapat mempengaruhi seseorang, termasuk menyelesaikan PR kita menghadapi kemiskinan dan keterbatasan," pungkas Tirta.