Sejumlah penyair perempuan Afghanistan bertekad mempertahankan kebebasan yang baru dinikmati meskipun mereka menghadapi ancaman mati. Seperti dilaporkan oleh wartawan internasional BBC Lyse Doucet, penyair-penyair perempuan mengekspresikan pemikiran mendalam di tengah berbagai risiko yang muncul di masyarakat Afghanistan.
Para penyair perempuan, lapor Doucet, menyebut puisi sebagai pedang mereka. Secara berkala mereka mengadakan pertemuan di tempat tertutup karena di masyarakat yang konservatif, puisi dianggap menyebarkan pengaruh negatif. "Kami menggunakan kata-kata murni dan keramat dan mengungkapkan perasaan kami dengan kata-kata itu," kata Pakisa Arzoo, seorang penyair berusia 29 tahun.
"Tetapi saya tahu masyarakat saya meyakini bahwa menulis puisi adalah suatu dosa," jelasnya.
Di bawah payung perkumpulan masyarakat kesusasteraan Mirman Baheer, puluhan perempuan di Ibu Kota Afghanistan, Kabul, bertukar pikiran mengenai puisi karya mereka. Baheer sudah mempunyai cabang-cabang di sejumlah kota lain dan beranggotakan ratusan orang.
Cinta dan patah hati"Api perang telah menyala dan membakar negara. Hati saya terbakar di kobaran ini, dan tubuh saya juga terbakar." Itulah petikan puisi karya Amil, salah seorang penyair Afghanistan.
Sebagian besar penyair perempuan yang berada di Kabul, lapor Doucet, berasal dari kalangan terdidik dan mempunyai pekerjaan profesional. Mereka masih menulis dengan menggunakan nama samaran karena khawatir akan ancaman.
Sebagian lainnya menulis secara diam-diam. Sebagian lainnya dilarang oleh keluarga menghadiri pertemuan Mirman Baheer sehingga mereka membacakan puisi melalui telepon.
Karima Shabrang, seorang penulis asal Provinsi Badakhshan, mengatakan, para pemuka desa menganggapnya sebagai penyebar pengaruh buruk melalui puisi-puisinya tentang cinta dan patah hati.
"Mereka mengatakan saya harus disingkirkan. Maksud mereka, saya harus dibunuh," kata Shabrang. Menyusul ancaman tersebut, dia kemudian diselamatkan oleh kedua kakaknya dan dibawa ke Kabul.