Melintasi Labirin dengan Pemandangan Rumah-Rumah Tua

By , Minggu, 27 Oktober 2013 | 08:00 WIB

Kisah sebelumnya silakan ke tautan ini.

KEDIAMAN kerabat saya berada di Hanwa Village, Bhukcon Ro, kawasan yang dilindungi pemerintah setempat karena kaya akan rumah-rumah peninggalan zaman Dinasti Joseon (1392-1897). Ratusan rumah itu dikenal sebagai hanok. Dalam bahasa setempat, bukchon berarti "desa di utara". Letaknya memang berada di utara, melintasi dua landmark besar kota Seoul, yaitu Sungai Cheonggyecheon dan Jongno.

Saat ini, sebagian besar rumah di Bhukcon Ro sudah beralih fungsi menjadi pusat kebudayaan, guesthouse, restoran, dan kedai teh. Bagi pejalan seperti saya, merasakan dan mempelajari tradisi dan kebudayaan Korea sangat cocok dilakukan di sini. Hanwa Village sendiri berada di lokasi dengan kontur tanah berbukit-bukit, di mana setiap rumah menyodorkan desain tradisional Korea Selatan. Ujung-ujung atap berukir mengingatkan saya akan rumah-rumah adat di Indonesia. Berada di lokasi ini membuat saya merasa tengah berada dalam sebuah museum yang sangat besar. Bermodal ransel, air mineral, kamera, dan peta brosur perjalanan dari bandara, saya langsung memantapkan langkah menjelajah Bhukcon Ro.

Keunikan terasa saat melintasi jalan-jalan pedusunan di sini. Lebarnya hanya muat dilewati satu mobil. Berjalan kaki seperti melintasi labirin dengan pemandangan rumah-rumah tua di kiri kanan. Beberapa kali, sempat berpapasan turis-turis asing yang sama seperti saya, tengah menikmati berjalan kaki memutari perkampungan, dan tidak sedikit juga pejalan lokal yang berkunjung ke sini.

Pada beberapa titik, pemerintah menanam pelat kuningan bertuliskan “Photo Spot", pertanda titik itu adalah lokasi terbaik bagi pejalan untuk memotret. Tidak jarang pula, di beberapa sudut jalan dapat ditemui petugas berseragam merah-hitam dilengkapi pengenal di dada bertuliskan “English” dan “Japan” pertanda bahwa mereka adalah pegawai pemerintah yang siap membantu para pejalan dalam kedua bahasa itu. Dari pertanyaan arah jalan sampai ke pertanyaan seputar sejarah rumah-rumah tradisional di sini, mereka sigap membantu. Hal ini sangat menyenangkan, mengingat saya terkendala komunikasi karena sebagian besar orang-orang Korea di Seoul yang saya temui tidak berbahasa Inggris.

HARI TELAH rembang petang saat saya usai berkelana di antara hanok-hanok. Rasa lapar yang mendera, mendapat kemudahan untuk dituntaskan, mengingat beberapa hanok telah disulap menjadi kafe dan resto tanpa mengubah bentuk asli bangunan.

Nah, pada sebuah pojok jalan saya jumpai kedai pizza kenamaan itu: Blacksmith Brick Oven Pizza. Saat kaki melangkah ke dalam, terasa suasana sangat nyaman, dengan interior khas kediaman seorang pandai besi dilengkapi pajangan-pajangan keramik antik dan radio tua di salah satu pojok. Saya memilih duduk di tepi jendela dan di sudut ruangan yang menghadap ke jalan. Kesibukan sang koki membakar pizza dengan alat serupa sekop raksasa berpadu dengan keramaian yang diciptakan pengunjung. Saya memesan vegetarian pizza ditambah topping keju.Pesanan ini dihidangkan di atas wadah batu dalam rangka baja dengan nyala lilin di bawahnya untuk menjaga kehangatan pizza. Ah, benar-benar nikmat, apalagi ditambah regukan es teh lemon yang menyegarkan.

Kesedapan hidangan dipadu suasana nyaman khas rumahan serta harga yang terjangkau, dibanding aneka resto di Seoul yang satu menu harganya rata-rata 18.000–25.000 won atau sekitar Rp145.000–200.000 membuat pengunjung, termasuk saya, betah berlama-lama duduk untuk menghabiskan sore di Seoul.

Penasaran dengan kelanjutan kisah ini? Silakan menuju tautan ini.