Risiko Menghadang Instalasi Nuklir Terapung

By , Jumat, 25 Oktober 2013 | 06:52 WIB

Meski juru bicara Rosatom tidak merespons permintaan komentar via email, situs OKBM menyebutkan keunggulan instalasi nuklir terapung dengan menyatakan bahwa pembangkit listrik terapung sangat cocok bagi kawasan yang sulit dijangkau seperti pesisir laut atau sungai besar, jauh dari sistem energi terpusat. Perusahaan itu melihat bahwa instalasi nuklir terapung akan menstimulasi aktivitas ekonomi dan menghadirkan kondisi hidup modern pada populasi setempat seprti di kawasan Arktika Rusia, sub Arktika Timur Jauh, dan kawasan lain.Memang benar, ide terkait instalasi nuklir portabel dan serba lengkap yang mengapung di lepas pantai mungkin terdengar bagaikan mimpi yang jadi kenyataan bagi negara-negara berkembang yang memiliki desa-desa dan kota-kota terpencil yang haus energi. Teknologi ini juga relatif terjangkau. Menurut World Nuclear News melaporkan, kapal instalasi nuklir Rusia itu akan memakan biaya 9,8 miliar rubel atau sekitar Rp3,4 triliun. Angkanya sangat kecil dibandingkan dengan pembangunan instalasi nuklir berukuran penuh di darat yang mencapai puluhan sampai ratusan triliun rupiah.Namun sejak awal, tujuannya adalah membuat instalasi nuklir terapung untuk mendongkrak eksplorasi energi Rusia.Menurut laporan yang disusun oleh Thomas Young, peneliti dari Monterey Institute of International Studies tahun 2010 lalu, pada tahun 2008 , Bogdan Budzulyak, anggota dewan direksi Gazprom, perusahaan energi raksasa Rusia, mengatakan pada Rosatom bahwa Gazprom butuh tiga instalasi nuklir terapung untuk pembangunan kilang migas di Arktika. Peneliti lain mengestimasi bahwa Gazprom butuh setidaknya lima instalasi nuklir terapung untuk memenuhi rencana eksplorasi Arktika-nya.Namun setelah itu, Gazprom harus mengubah ambisinya. Harapannya bahwa suatu hari mereka bisa mengekspor gas alam dari Arktika ke pasar Amerika Serikat telah dibuyarkan oleh revolusi bahan bakar di Amerika Serikat. Tahun lalu, Statoil, partner Gazprom dari Norwegia membatalkan investasi di kilang migas Shtokman. Dan partner yang tersisa, yakni Total asal Prancis menyebutkan, mereka bekerjasama dengan Gazprom terkait teknologi untuk menurunkan biaya pengembangan Arktika.Masalah utama dari kondisi tersebut adalah tantangan untuk memasok energi bagi perlengkapan pengeboran di kawasan terpencil di laut Barents.Risiko Cuaca dan TerorBanyak pengamat industri, termasuk pendukung dan penentang pembangkit nuklir di Amerika Serikat, meragukan apakah instalasi nuklir Rosatom akan menjadi jawaban bagi rencana Arktika Rusia atau negara-negara yang membutuhkan energi lainnya. Mereka mengkhawatirkan tak hanya kehandalannya, tetapi juga apakah itu akan menjadi hal yang ringkih baik terhadap cuaca ekstrim ataupun serangan teroris.John Daly, salah satu komentator yang juga analis energi dari Oilprice.com bahkan mencemooh bahwa Akademik Lomonosov sebagai "Chernobyl di laut"."Ide memasarkan alat ini tidak layak," kata Ed Lyman, fisikawan dari Union of Concerned Scientist (UCS). Ia menyebutkan, konstruksi prototipe instalasi nuklir terapung sudah dimulai tahun 2007 dan mengalami banyak kendala termasuk penundaan akibat bangkrutnya galangan tempat dibangunnya kapal tersebut. "Menurut saya, negara manapun yang mau melihat catatan sejarah terkait proyek seperti ini akan enggan untuk membelinya," ucapnya.Lyman menyebutkan, dari berbagai klaim yang disebutkan perusahaan pembuatnya, penyimpanan dari reaktor nuklir portabel ini bisa jadi tidak cukup kokoh untuk menghadapi bahaya yang belum terlihat. "Fukushima telah menunjukkan kita bahwa kecelakaan bisa terjadi dan tidak bisa kita prediksi," ucap Lyman. "Kami memperkirakan, untuk generasi awal, kita perlu fitur tambahan untuk menghadapi hal-hal yang tidak kita duga," sebutnya.Lyman juga mempertanyakan apakah instalasi nuklir terapung bisa beroperasi secara efisien dengan menggunakan uranium yang hanya sedikit diperkaya, dan bukan menggunakan uranium diperkaya yang memungkinkan kapal pemecah es bisa menjelajah dalam kurun waktu lama tanpa perlu isi bahan bakar. "Mereka harus mengisi ulang pembangkit listrik setiap tiga sampai empat tahun," sebut Lyman.Paul Genoa, Senior Director of Policy Development, Nuclear Energy Institute, sebuah organisasi penasihat kebijakan industri nuklir asal Washington DC menyebutkan, akan ada tantangan untuk mengoperasikan instalasi nuklir di kawasan yang sangat dingin seperti di kawasan timur Asia milik Rusia.Generator diesel dan baterai cadangan, sistem ganda yang aktif untuk memasok energi bagi sistem pendinginan reaktor jika terjadi kegagalan listrik, tidak beroperasi dengan baik pada kondisi dingin. "Disel sangat sulit diaktifkan dalam kondisi sangat dingin, dan reaksi kimia sangat lambat jika dioperasikan pada temperatur rendah, padahal baterai sangat bergantung pada ini," sebut Genoa.Genoa mencatat bahwa industri nuklir AS juga berusaha untuk mengembangkan reaktor modular kecil yang bisa dibuat dalam pabrik dan kemudian dikirim ke lokasi terpencil untuk menyediakan listrik. Namun unit seperti itu harus diinstalasikan di bawah tanah, didaratan."Menempatkan instalasi nuklir di atas kapal membuat faktor keamanan dan keselamatan menjadi lebih kompleks," sebut Genoa. "Di negara kami, Nuclear Regulatory Commission pasti ingin mengetahui bagaimana sebuah kapal yang diikat ke dermaga bisa mempertahankan diri dari potensi serangan teroris," ucapnya.Meski demikian, Genoa menyebutkan, apa yang tengah diperbuat oleh Rosatom cukup menarik. "Namun saya tidak mendukung itu sebagai jalan keluar," ucapnya.