Semua pengunjung yang meniti anak tangga masuk kantor tinggalan Nederlandsch-Indische Escompto Maatschappij ini akan mendapati kekaguman. Mungkin lebih tepatnya, kekaguman atas kejutan lawas di denyut perkantoran zaman kolonial.
Mereka mendongak sembari menyaksikan sebuah kubah persegi. Kubah itu menjulang bak menara dengan hiasan wapens porselen-porselen kusam. Keelokan porselen lawas itu bergelimang dengan kaca patri yang berjajar mengikuti dinding persegi. Karya seni awal abad ke-20 itu menampakkan keindahan pendaran aneka warnanya tatkala ditempa cahaya matahari.
Sebanyak 12 lambang kota perdagangan penting di Hindia Belanda dan Eropa, menghiasi keempat sisinya. Sisi dinding yang menghadap tangga masuk menampakkan tiga lambang kota: singa “Nederland”, ikan dan buaya “Soerabaia”, pedang dan krans “Ned. Indie”.
Mencermati lambang-lambang kota tempo dulu sungguhlah menarik. Bagi orang Surabaya, lambang ikan sura dan buaya tampaknya sudah menjadi cetak-biru di sanubari mereka. Surabaya telah menjelma menjadi sebuah makna baru: “Sura ing Baya”—berani menghadapi bahaya. “Dapper in het gevaar,” kata orang Belanda menerjemahkan istilah tersebut. Demikianlah jiwa sejati warga Surabaya, yang tampaknya suatu keniscayaan tatkala mereka menantang maut pada pertempuran November 1945.
Saat memutar menuju lantai dua, pengunjung akan menatap dinding porselen berlukiskan: perempuan, jangkar, dan singa “Semarang”, pedang dan krans “Batavia”, pohon kelapa dan pedang “Macasser”. Sedangkan dua sisi lainnya melukiskan berbagai lambang khas kota “Berlin”-“Parijs”- “Londen” dan “Rotterdam”-“Amsterdam”-“Sgrevenhage”.
Sebelum kepemilikan berpindah ke tangan Republik, arsitektur wajah Escompto tampak memesona. Terdapat tiga pintu masuk yang mengantarkan para nasabah tempo dulu ke sebuah beranda—yang tidak ditemui dalam arsitektur Eropa. Inilah kearifan arsitektur modern, ketika barat bertemu timur. Dengan adanya beranda di kedua lantai gedung Escompto, ruangan dalam tak terpapar langsung oleh sinar matahari sehingga ruang kerja lebih sejuk. Kini penerus gedung Escompto adalah Bank Mandiri Kembang Jepun. Menurut keterangan sejarah gedung yang terdapat dalam museum bank tersebut, arsitek gedung Escompto adalah Marius Hulswit. Pria asal Amsterdam itu menyelesaikan konstruksi gedung pada awal abad ke-20. Hulswit menetap di negeri ini sejak 1890. Proyek pertamanya di Hindia Belanda bukanlah sebagai orang yang merancang bangunan, melainkan “mandor” proyek konstruksi di Surabaya. Sebuah kantor asuransi yang dirancang HP Berlage dengan ikon singa bersayap, Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente, telah menjadi proyek supervisi perdananya. Boleh dikata, Hulswit merupakan arsitek profesional pertama yang bekerja di Hindia Belanda. Sebelumnya, proyek pembangunan rumah atau gedung di Hindia Belanda dikerjakan oleh arsitek amatiran, para insinyur sipil, atau insinyur militer. Mereka biasanya mengerjakan sebuah desain yang dikirim dari konsultan arsitektur di Belanda, tanpa pengawasan langsung sang arsiteknya.
Selama awal abad ke-20, kolaborasi Hulswit bersama Fermont dan Ed. Cuypers telah mempopulerkan gaya neoklasik untuk kantor-kantor Javasche Bank—kini Bank Indonesia—di seantero Hindia Belanda.
Beberapa hari setelah merayakan ulang tahunnya yang ke-59 pada awal Januari 1921, arsitek besar itu wafat di Batavia. Dia dimakamkan di Kerkhof Kebon Jahe Kober bersama para aditokoh dari masa VOC hingga Hindia Belanda. Merekalah yang turut membangun wajah sebuah kota yang kini menjadi megapolitan.
Sampai hari ini nisannya masih menghiasi kesunyian dan keteduhan di tengah hiruk pikuknya Jakarta, Museum Taman Prasasti. Di nisan arsitek sohor itu, dunia mengenangnya sebagai seorang profesional: “Marius Hulswit, Architect”.