Hoi An, Swadaya Sebuah Kota UNESCO

By , Sabtu, 26 Oktober 2013 | 10:00 WIB

Rumah berlantai dua itu tersusun atas kayu dan batu bata. Pada bagian atap, jendela, pintu hingga penopang utama (sokoguru) terbuat dari kayu yang menghitam. Memasuki bagian dalam, saya mengamati deretan kursi kayu tua. Di sini, terdapat pula guci warisan keluarga, lukisan khas Cina yang menempel di dinding, dan bengkel kerja sulaman dari usaha keluarga.

Saya terus melangkahkan kaki menuju tangga kayu yang menghubungkan dengan lantas atas. Saya tiba di ruang terbuka berupa altar keluarga. Di sini lah tempat meletakkan persembahan yang berisikan buah-buahan, kue kering kaleng hingga buket bunga. Sulaman berupa panji keluarga dipasang di atas altar, lantas kiri dan kanannya diapit semacam rak berisi mangkok-mangkok tua warisan keluarga. Menjorok jauh di depan altar terhadap balkon untuk mengamati kesibukan yang terjadi di ruang bawah dan pada bagian sampai altar terdapat ruang-ruang kamar untuk anggota keluarga atau tamu yang menginap.

Saya tengah menikmati keindahan dan kemegahan kediaman keluarga Tan Ky, salah satu warisan yang terpelihara baik di kota pesisir Hoi An. Peradaban lama yang dulu ramai oleh lalu lalang kapal-kapal dagang dari penjuru Eropa dan Asia ini mengajarkan kita akan pelestarian warisan budaya. Generasi penerus saudagar Cina menyapa dan membawa tetamu untuk menyinggahi kediaman keluarga yang masih terjaga.

Selain keluarga Tan Ky, masih ada lima rumah warisan lainnya: kediaman Diep Dong Nguyen, rumah Phung Hung, rumah Quan Thang, rumah Tan Ky, kapel keluarga Troung, dan kapel keluarga Tran. Tentu saja, kita dapat mengamati dari dekat konstruksi dan arsitektur masa lalu sekaligus mengabadikan aktivitas produk rumahan seperti sulaman sutra dan obatan-obatan herbal.

Hoi An mungkin lebih mini daripada Pelabuhan Lama Karanghantu di Banten. Namun, masyarakat di sini begitu gigih mempertahankan warisan yang memicu kegiatan pariwisata berkelanjutan. Dengan predikat sebagai Situs Warisan Dunia dari UNESCO sejak tahun 1999, Hoi An mampu bertahan dalam menghadapi modernitas dengan cara kesadaran masyarakat.

Meski pendanaan dilancarkan UNESCO, kota lama Hoi An mengandalkan swadaya masyarakat dalam menjaga bangunan-bangunan fisik yang masuk kategori konservasi. Caranya mencetak tiket terusan yang dijual kepada para pejalan. Satu tiket senilai 75.000 VND (Vietnamese Dong) berlaku untuk sehari dan dapat digunakan sebagai akses ke lima destinasi, yaitu ke Jembatan Jepang (Chua Ong), salah satu rumah keluarga pedagang Cina yang sudah berusia 200 tahun, satu museum, satu kuil peribadatan grup pendatang Cina di masa lalu, serta sentra budaya (Hoi An Handicraft Centre) yang menyajikan cendera mata, musik serta tarian.

Setiap pengunjung dibolehkan berkunjung ke sejumlah titik ini dan bila ingin mendatangi lebih banyak situs harus membeli tiket terusan lagi. Ada enam gerai di ruas-ruas jalan kota lama Hoi An yang menyediakan penjualan ini, sehingga pejalan tidak perlu kelabakan mencari-cari lagi. Keenamnya berada di ruas Le Loi, Nguyen Thi Minh Khai, Phan Chu Trinh, Hoang Dieu, Tran Phu dan Ha Ba Trung. Hasil dari penjualan tiket itulah yang digunakan untuk merawat situs-situs sejarah di seantero kota sebagaimana telah ditetapkan bersama.

Kalaupun ada hal yang dianggap sebagai kekurangan, kota lama Hoi An berada pada kondisi sedikit mengkhawatirkan, karena pada waktu tertentu dipenuhi pengunjung yang hadir dalam perhelatan malam terang bulan sekitar tanggal 14 setiap bulan. Di satu sisi memberikan tambahan penghasilan bagi warga lokal, namun di sisi lain menjadi overloaded, termasuk banyaknya kendaraan yang masuk ke lokasi. 

*Tulisan ini pernah diterbitkan dalam National Geographic Traveler Indonesia edisi Januari 2012.