Tenun Sutra Phnom Chisor

By , Sabtu, 26 Oktober 2013 | 14:00 WIB

"Ada yang menarik untuk dilihat di sini, Ma'am," Phy, pengemudi tuk-tuk yang setia mengantarkan saya selama perjalanan di Phnom Penh, pusat peradaban Kamboja. Ia melontarkannya saat saya mengangsurkan ide kepadanya, menyinggahi desa seputar Candi Phnom Chisor. Tujuan akhir saya, bangunan peninggalan Khmer yang berada di Desa Sla, Distrik Samraong, Provinsi Takeo, sekitar 60 kilometer sebelah selatan ibu kota negeri Raja Norodom Sihanouk. Phy membelokkan kendaraan menuju sebuah desa di sela perjalanan kami menuju candi Hindu itu.

Wow! Phy rupanya berhasil membuat perjalanan saya lebih berkesan. Kami mengunjungi desa perajin tenun khas Kamboja. Di sini, bukan hanya membeli hasil karya mereka. Karena biasanya mereka membuat berdasar pesanan dan bentuknya cukup besar, bukan sejenis selendang atau scarf kecil-kecil," Phy menjelaskan kepada saya. Ia begitu bersemangat.

Saya menyetujui penjelasan pemuda ramah ini. Bukan persoalan melihat proses pembuatan tenun sutra yang menjadi topik utama, namun bagaimana para perajin belajar kembali menekuni kepandaian kriya yang pernah mereka tekuni di masa silam. Phy melanjutkan kisah. Saat Saloth Sar atau lebih populer disebut Pol Pot memimpin Khmer Merah, ketrampilan kerajinan sutra ini surut. Penguasa tidak membolehkan kegiatan itu. Akibatnya, "Perajin ketakutan sehingga tidak ada yang berani membuat bahkan mencoba melupakan kebisaan itu," kata Phy.

Kini, UNESCO mengulurkan bantuan. Penduduk desa kembali menghidupkan keterampilan menenun. Mereka yang dulu menjadi perajin belajar kembali. Warga desa pun berkeinginan menyelami kemampuan membuat tenun sutra. Pesanan sudah mengalir dan mulai dikembangkan ke arah wisata kriya bagi para pejalan saat berkunjung ke Phnom Chisor serta Prasat Neang Khmao—reruntuhan gerbang kuil dari bata merah ditambah tempat peribadatan yang sudah direnovasi.

Sementara keberadaan Phnom Chisor sendiri telah mendatangkan rezeki bagi warga sekitar. Nama asli kuil ini adalah Suryadri atau Kuil Matahari, dibangun Raja Suryavarman I pada abad ke-11 Masehi. Untuk sampai ke puncak, saya ditemani Phy harus mendaki 412 anak tangga. Di lintasan menuju puncak bukit itulah, masyarakat setempat menjajakan minuman dan berbagai macam camilan.

Bahkan di tempat parkir, seorang perempuan terlihat begitu serius menjual minuman non-kemasan karton atau kaleng. Ia menjual jus tebu atau tuk umpow dalam bahasa Khmer, dengan memboyong langsung mesin penggiling dan potongan-potongan tebu segar yang ia dapatkan langsung dari petani dekat kompleks Phnom Chisor. Harga tuk umpow sekitar 1.000 Riel atau sekitar Rp 2.000,- per wadah plastik dilengkapi sedotan.

Ada beberapa kuil yang dituakan dalam kompleks, di antaranya Prasat Preah Ko Preah Kaew dan Prasat Boran. Disebut terakhir memiliki gerbang menuju timur, sehingga pengunjung dapat menikmati keindahan lanskap pedataran sekitar Phnom Chisor. Pada pelataran luar kompleks percandian, terdapat beberapa pondok panggung terbuka yang disewakan kepada pengunjung. Sedang di pelataran belakang diletakkan beberapa kursi untuk tempat beristirahat sembari meneguk minuman dingin.

Secara keseluruhan, saya ingin memberikan penilaian situs berada dalam kondisi balance atau seimbang. Artinya, kedatangan para pejalan tidak meninggalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kondisi ini dapat bertahan, paling tidak dua tahun ke depan. Kuil Prasat Boran membuka kesempatan bagi pengunjung yang ingin melakukan donasi dan memberikan kain merah berisi inskripsi doa sebagai balasannya.

Di sinilah Phy mendapatkan dua buah kain, dan salah satunya khusus dibingkiskan buat saya. Aneh, justru sopir tuk tuk saya yang memberikan kepada saya sebagai ungkapan terima kasih saya telah menyewa jasanya. Ketulusan lokal yang patut ditiru.

*Artikel ini pernah diterbitkan dalam National Geographic Indonesia Traveler edisi Januari 2012.