Petani yang Menoleh ke Laut

By , Senin, 28 Oktober 2013 | 10:42 WIB

Orang Bugis-Makassar masyhur sebagai pelaut ulung. Namun, jauh sebelum dikenal hidup meniti buih di samudra nan luas, mereka ialah mayoritas petani dan pekebun. Mereka hidup berkelimpahan pangan di tengah musim hujan yang tiada henti sepanjang tahun.

Tinggal bersisian di laut membuat orang Bugis-Makassar tergoda untuk berlayar. Mereka mulai "terjun ke laut" dan menurut Christian Pelras dalam buku Manusia Bugis, orang Bugis memanfaatkan laut untuk berdagang pada akhir abad ke-16 hingga abad ke-17.

Perdagangan maritim benar-benar godaan buat mereka. Naluri berdagang ini cukup tinggi, membuat aktivitas maritim orang Bugis berkembang pesat. Orientasi kehidupan yang semula agraris tergeser menjadi berorientasi ke perniagaan maritim.

Masa perdagangan di Bugis-Makassar telah bersemi lama sebelum kerajaan kembar Gowa-Tallo (Kerajaan Makassar) muncul sebagai kekuatan dominan dan hegemonik di wilayah perdagangan maritim Nusantara abad ke-17.

Tercatat pelabuhan Makassar telah menjelma pelabuhan yang sangat ramai pada abad 16. Pelabuhan itu menghubungkan jaringan perdagangan di barat (Malaka), utara (Sulu), barat-selatan (Jawa), dan timur (Maluku). Pedagang Makassar sendiri memainkan peranan yang amat penting— sebagai perantara perdagangan rempah dari Maluku dan kayu cendana dari Timor.

Selain rempah, komoditas lain yang sangat penting dan dikuasai adalah pedagang Bugis adalah beras. Kebutuhan beras di Maluku dan Malaka sebagian besar dipasok oleh Makassar. Perdagangan beras ini demikian menguntungkan hingga sejumlah penguasa Makassar membuat kebijakan surplus beras untuk ekspor.

Di penghujung abad ke-19 hingga dekade 1930-an, perahu-perahu Bugis memadati seluruh pesisir Nusantara, dari Singapura ke Papua, dan dari bagian selatan Filipina hingga pantai barat laut Australia.

Jadi, mereka pelaut, petani, atau pedagang? Jawabnya mereka ialah petani dan pekebun yang beralih menjadi pedagang maritim karena ramainya perdagangan antarpulau. Meskipun, ada pula yang memang pelaut ulung, yakni orang-orang Tanjung Bira di Kabupaten Bulukumba.

Merekalah yang menguasai ilmu navigasi, pelayaran, dan piawai mengemudikan kapal pinisi yang dibuat orang Ara.

Menurut seorang tokoh masyarakat Bira, Andi Ahmad, "Sejak zaman dahulu, sudah menjadi rahasia umum. Bahwa orang Ara yang membuat pinisi, orang Bira yang menjadi juru mudi, dan orang Bugis-Makassar yang berdagang."

Hanya saja, yang terjadi adalah, sebagai pedagang orang Bugis yang turun ke pelabuhan dan bertemu banyak orang asing untuk transaksi perdagangan. Mereka pun dikira pelaut sesungguhnya.