“Bocah Jogja Nagih Janji” (I)

By , Senin, 28 Oktober 2013 | 12:45 WIB
()

Cuaca masih cerah di ujung Jalan Malioboro pada Ahad sore, 27 Oktober 2013. Mendung menggelayut di langit bagian utara Yogyakarta. Di pusat kota, hawa udara cukup lembab, namun tidak menyurutkan semangat sekelompok anak muda ber”pesta” di area plaza Kilometer 0 Yogyakarta.

Beberapa anak muda, lelaki dan perempuan, tampak memoles muka dan tubuhnya dengan aneka cat. Beberapa gadis muda mengenakan kebaya modifikasi, dengan stocking putih, lengkap dengan sepatu balet.

Mereka sibuk dengan berbagai kegiatan, ada yang bermain egrang, lompat tali, hingga cublak-cublak suweng. Ada pula yang hilir mudik di sekitar lampu lalu lintas memainkan aneka dolanan tradisional bunyi-bunyian, seperti othok-othok, kitiran, dan klothokan.

Permainan anak yang dimainkan di Kilometer 0 Kota Yogyakarta dalam rangkaian "Festival Seni Mencari Haryadi" (Dwi Oblo/NGI).

Di sudut-sudut lain, beberapa anak muda mengenakan kotak kardus menyerupai gedung tinggi, dan beberapa lainnya mengenakan papan dengan berbagai tulisan pesan. Tampak beberapa tulisan “Ayo kanca dolan ning njaba” (bhs.Jawa: ayo teman, main di luar), “Lapanganku ilang, yo dolan kene wae” (bhs.Jawa: lapanganku hilang, ya main di sini saja),  “Ono ra ono nggon dolanan” (bhs.Jawa: tidak ada lagi tempat bermain).

Mereka memang sengaja ingin menarik perhatian para pelalulalang di salah satu area tersibuk di Kota Yogyakarta ini. Tidak ketinggalan, para jurnalis tampak menikmati saat-saat menangkap momen untuk dipotret, lalu mewawancara beberapa panitia. Kegiatan ini bertajuk “Bocah Jogja Nagih Janji”, merupakan bagian dari Festival Seni Mencari Haryadi.

Di bawah rindang pohon yang tumbuh di halaman Istana Negara, saya sempat berbincang dengan Novel. Lelaki muda ini adalah warga Kampung Juminahan, pegiat Jaringan Kampung Yogyakarta.

Bersama rekan-rekannya, ia mencoba menyuarakan aspirasi kepada Pemerintah Kota, yang pada masa kampanye memberi janji muluk-muluk. Katanya, “Saya ingin sampaikan kepada para pejabat: peliharalah kampung, lindungi kampung, jangan rebut area bermain di kampung kami. Tempat bermain penting untuk kami berekspresi dan berkumpul.”

Sore itu, Jaringan Kampung Yogyakarta diwakili oleh anak-anak muda dari Kampung Juminahan, Tukangan, Notoyudan, Pringgokusuman, Surokarsan, Wonocatur, Pakualaman, Ngadiwinatan, dan Badran. Mereka bahu-membahu berkolaborasi dengan Komunitas ketjilbergerak, Media Sastra, komunitas balet, Cirakaka, dan beragam komunitas lainnya.

Simak kisah selanjutnya.