Peneliti UNS Buat Busa Ramah Lingkungan dari Limbah Jagung

By , Jumat, 1 November 2013 | 10:30 WIB

Busa atau foam sintetis dan turunannya merupakan produk yang populer dan luas penggunaannya. Tidak hanya sebagai kemasan pangan, busa juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pelindung atau wadah produk elektronik, suku cadang, dan zat kimia dalam industri.

Busa sintetis memiliki keunggulan, yakni bersifat fleksibel, tidak mudah pecah, tidak korosif (mudah berkarat), dapat dikombinasikan dengan bahan lain, dan harganya relatif murah.

Namun, busa yang selama ini beredar memiliki kelemahan, yakni tidak mudah hancur di alam sehingga limbahnya bersama limbah plastik lain lama-kelamaan menumpuk dan mencemari lingkungan. Sebagai contoh, produksi sampah di Kota Solo rata-rata 260 ton per hari. Dari jumlah ini, sebanyak 30 persen merupakan sampah plastik, termasuk busa sintetis yang sukar terdegradasi (diuraikan alam). Akibatnya, Tempat Pembuangan Akhir Putri Cempo di Solo dalam waktu beberapa tahun saja sudah penuh.

"Busa konvensional terbuat dari minyak bumi. Padahal, ketersediaan minyak bumi semakin berkurang karena tidak bisa diperbarui. Berangkat dari sini, kami berpikir bagaimana jika busa dibuat dari bahan alam," kata Mohammad Masykuri, ketua tim peneliti busa ramah lingkungan (biofoam) dari Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.

Masykuri bersama anggota tim, Sulistyo Saputro dan Sarwanto, menggagas biofoam dengan bahan dasar dari bahan-bahan terbarukan, yakni limbah jagung dan minyak sawit. Kedua komoditas ini merupakan hasil andalan Indonesia. Data Oil World, Indonesia sejak 2011 hingga saat ini merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia, yakni sebesar 14.465.000 ton pada 2012 atau 54,4 persen produksi dunia.

Demikian pula jagung yang menjadi salah satu komoditas terpenting setelah padi. Salah satu kandungan jagung adalah protein zein. "Tingkat penggunaan jagung dalam industri pakan ternak 45-55 persen, sebanyak 1-2 persen di antaranya terbuang sebagai limbah jagung. Limbah ini berpotensi sebagai bahan dasar sintesis bioplastik dan biofoam," kata Sulistyo.

Cara pembuatan

Limbah jagung dibersihkan dari kotoran, seperti kayu, kertas, dan plastik, lantas digiling menjadi butiran kecil dan dipanaskan selama dua jam pada suhu 100-150 derajat celsius ditambah katalis alpha amilase.

Setelah itu campuran dikeringkan dan digiling hingga ukuran tertentu, lantas diekstraksi pada suhu 65-70 derajat celsius menggunakan etanol selama tiga jam. Tujuannya untuk memperoleh kandungan zein dalam jagung. Setelah proses pendinginan dan dekantasi (proses pemisahan zat padat yang tidak ikut terlarut di dalam pelarut dengan cara dituangkan) diperoleh zein padat.

Zein padat dilarutkan ke dalam etanol sehingga membentuk cetakan film (lapisan tipis). Selanjutnya ditambahkan plasticizer (material untuk meningkatkan fleksibilitas) dan inisiator benzoil peroksida, kemudian diputar selama 10 menit. Plasticizer bervariasi jenisnya, yakni asam lemak inti sawit, seperti asam oleat dan asam laurat, juga gliserol. Emulsi yang terbentuk lalu didinginkan dan dicetak pada permukaan halus dan jadilah film. Film bioplastik zein ini bersifat edibel (dapat dimakan), transparan, mengkilap permukaannya, dapat ditekuk, tetapi mudah patah. Sifat mudah patah dapat diatasi dengan penambahan plasticizer.

Bioplastik zein ini selanjutnya dikembangkan menjadi biofoam dengan metode sintesis yang dikembangkan tim berupa jalur reaksi yang disebut ERRP atau epoxidation (epoksidasi), ring opening (pembukaan cincin), reduction (reduksi), dan polimerization (polimerisasi). Metode ini diklaim lebih praktis dengan rendemen produk lebih besar, mencapai 87-95 persen. Biofoam yang dihasilkan diberi nama biofoam PUU-g-Z (Polyurethane urea-g-zein). "Metode ERPP sudah kami patenkan di Ditjen HAKI," kata Sarwanto.

Busa ini memiliki keunggulan, yakni biodegradabel (dapat terurai oleh mikroba tanah) dengan tingkat urai 10-15 persen dalam waktu 60 hari serta memiliki kuat mekanik 8-12,2 mega pascal. Ini setara dengan busa sintetis yang selama ini digunakan. Biofoam tidak mencemari tanah, efisien dalam pembuatan, dan bisa dicetak menjadi beragam bentuk dan fungsi.

"Kami tengah mengurus paten produk biofoam PUU-g-Z. Di dunia internasional pun setahu kami belum pernah ada produk sejenis didaftarkan. Kami juga berharap mendapat mitra guna memproduksi untuk skala industri," kata Masykuri.