Operasi bedah minimal invasif kini jadi pilihan utama untuk mengatasi berbagai gangguan tulang belakang. Di samping risikonya relatif lebih rendah dibandingkan teknologi operasi konvensional dengan bukaan besar, tingkat keberhasilannya pun sangat menjanjikan.
Risiko utama operasi tulang belakang adalah kelumpuhan pasien. Namun Harmantya Mahadhipta, dokter spesialis bedah ortopedi dan traumatologi di Ramsey Spine Center, RS Premier Bintaro, mengutarakan bahwa bedah minimal invasif yang sejak 2007 dilakukan di rumah sakit tersebut pada lebih dari 1.300 pasien, belum pernah ada kasus kelumpuhan.
Konsultan tulang belakang di Ramsey Spine Center, Fachrisal Ipang, mengatakan di Jakarta (31/10), bukaan atau sayatan di punggung pada bedah minimal invasif untuk operasi tulang belakang berkisar 1,5 - 2 sentimeter. Jauh lebih kecil dibanding bukaan pada operasi konvensional, sebesar 15-20 sentimeter.
Bedah minimal invasif bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan mikroskop atau endoskopi. Secara umum, tingkat keberhasilan operasi tulang belakang dengan bedah minimal invasif ini 90 hingga 98 persen.
Menurut Fachrisal, karena bukaan di punggung kecil, jumlah darah yang keluar serta kerusakan jaringan dan otot yang ditimbulkan pun sangat sedikit. Pascaoperasi, rasa nyeri dan jaringan parut yang dihasilkan lebih minim. Pasien tak perlu minum obat-obatan dalam jangka waktu lama yang dapat menimbulkan ketergantungan.
Jangka waktu operasinya juga jauh lebih pendek, sehingga mempersingkat lama tinggal pasien di rumah sakit. "Sebagian pasien bedah minimal invasif cukup dirawat satu hari di rumah sakit," ujarnya.
Ia mengingatkan pula, tak semua gangguan tulang belakang harus dioperasi. Sebagian besar nyeri di punggung dipicu oleh antara lain otot kejang, ligamen, atau gangguan sendi. Dan ini dapat cukup diatasi dengan istirahat atau obat. Dari kunjungan pasien dengan keluhan pada tulang belakang, hanya sebanyak 15 persen yang perlu operasi akibat kelainan tulang belakang.