Ingin Mengemudi di Luar Negeri? Pahami Aturannya Dahulu

By , Selasa, 5 November 2013 | 11:00 WIB

Mungkin ini terdengar klise, tetapi perjalanan yang sesungguhnya memang harus mencakup area-area yang jarang dikunjungi. Walau harus diakui, perjalanan semacam ini bakal penuh rintangan, terutama bagi mereka yang tidak terbiasa mengemudi di luar negeri. Urusan mengemudi bisa jadi menakutkan bila harus melewati jalanan berlubang, tikungan tajam mengitari lintasan tanpa pagar pengaman di pegunungan, juga menghadapi pengemudi bus yang melaju menerobos lampu merah, mobil dengan letak kemudi di sisi berlawanan, dan selentingan tentang perampok yang mengintai di tepi jalan.

Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab kematian non-alami terbesar pejalan yang melancong ke luar negeri. Dan jangan berasumsi Anda akan lebih aman jika menggunakan transportasi umum. Angka korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di luar negeri yang menggelisahkan ini tak hanya berlaku bagi pengemudi mobil sewaan tetapi juga penumpang bus dan taksi, serta pejalan kaki yang tertabrak kendaraan. Di sejumlah negara, berada di dekat sebuah mobil yang sedang melaju adalah benar-benar berbahaya.

Sejak tahun 2004, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan hal keselamatan di jalan raya ini ke dalam kategori masalah kesehatan masyarakat. Kecelakaan lalu lintas yang menelan korban hingga 1,2 juta jiwa setiap tahun, khusus di AS, sesungguhnya dapat dihindari. WHO menargetkan lima sasaran: mengemudi dengan kecepatan tinggi, mengemudi dalam keadaaan mabuk, minimnya pemakaian helm, minimnya pemakaian sabuk pengaman, dan buruknya penglihatan.

Di Korea Selatan, misalnya, kampanye penggalakan yang dilakukan secara nasional berhasil meningkatkan pemakaian sabuk pengaman dari 23 menjadi 98 persen dalam satu tahun, dan mengurangi tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas sebesar 5,9 persen. Bepergian lewat jalan darat sangat berbahaya terutama di negara berkembang yang belakangan mengalami ledakan jumlah kendaraan bermotor—dengan pengemudi tidak berpengalaman—yang mendominasi jalan-jalan yang dibangun dengan kapasitas untuk menampung lalu lintas sepeda dan pedati.

WHO memperkirakan 90 persen kematian akibat kecelakaan lalu lintas terjadi di negara-negara dengan tingkat penghasilan rendah dan sedang (di mana dua pertiga warga dunia tinggal).

"Negara-negara di Asia memiliki tingkat kematian yang mengerikan," ujar Rochelle Sobel, pendiri Association for Safe International Road Travel (ASIRT). Menurutnya, risiko terluka atau meninggal akibat kecelakaan lalu lintas mencapai 20 hingga 80 persen lebih tinggi di sejumlah negara Asia dibandingkan di AS. Sejumlah penyebab tingginya angka kematian mencakup penggunaan trotoar sebagai jalur lintasan oleh pengemudi kendaraan bermotor, bus-bus dengan muatan penumpang melebihi kapasitas, hingga bergelantung di pintu, kondisi jalan yang mengenaskan serta kualitas, dan waktu tanggap perawatan gawat darurat yang buruk.

Sobel mendirikan ASIRT pada tahun 1995 setelah putranya, Aron, meninggal dalam kecelakaan bus di Turki. Sejak saat itu, organisasi nirlaba yang bermarkas di Potomac, Maryland, ini telah bekerja sama dengan pihak berwenang baik di AS maupun negara-negara lain untuk meningkatkan keselamatan di jalan raya. "Saat Aron meninggal, hanya sedikit jalanan di Turki yang memiliki garis pembatas jalur dan sedikit yang ada itu umumnya diabaikan," kata Sobel. Namun ASIRT telah berhasil melakukan pendekatan sehingga jalan-jalan menjadi lebih lebar, jalan raya dipisahkan menggunakan median jalan, dan penggunaan sabuk pengaman digalakkan.

Informasi yang disediakan ASIRT bagi para pejalan adalah rangkaian Road Travel Report yang dapat diunduh di situs organisasi ini (www.asirt.org) dengan dikenakan biaya. Informasi yang dibeberkan meliputi: peraturan lalu-lintas setempat, jalan-jalan yang berbahaya atau kondisinya buruk, dan pemeringkatan fasilitas transportasi umum di 148 negara. Juga, informasi tentang budaya mengemudi di setiap negara, plus tanya jawab seputar aturan umum berlalu lintas.

Menurut Ward's Automotive Report, AS merupakan salah satu negara yang berbahaya untuk mengemudi dengan 19,1 kematian per 100.000 kendaraan bermotor yang tercatat resmi pada tahun 2006. Sebagai perbandingan, Italia, yang terkenal akan para pengemudinya yang tak takut menantang maut dengan mengemudi dalam kecepatan tinggi di Amalfi Coast, hanya memiliki tingkat kematian 13,1 per 100.000 kendaraan bermotor. Yang mengejutkan, ternyata hanya segelintir orang yang berkunjung ke Napoli dan meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara Swiss, Swedia, Norwegia, Belanda, dan Inggris memiliki tingkat kematian separuh dari AS.

Tingkat kematian yang rendah di negara-negara Skandinavia berhubungan langsung dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan keselamatan di jalan raya. Swedia, misalnya, mengadopsi kebijakan Vision Zero pada tahun 1997 yang sasarannya adalah meniadakan kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Negara ini menurunkan batas kecepatan yang diperbolehkan di tempat-tempat di mana mobil harus berbagi jalan dengan pejalan kaki dan pesepeda, menambahkan pagar pengaman di median atau bahu jalan, dan mengubah persimpangan yang berbahaya menjadi bundaran.

Namun berapa pun upaya peningkatan keselamatan yang dilakukan tetap tidak akan mampu menjamin perjalanan yang bebas risiko. Karena itu, Michelle Bernier-Toth, direktur pelaksana urusan warga negara di luar negeri Departemen Luar Negeri AS menyarankan agar pejalan meneliti risiko keselamatan jalan raya di negara yang akan dikunjungi untuk mengetahui tingkat kenyamanan. "Ada tempat-tempat di mana saya sama sekali tidak berpikir untuk mengemudi tetapi suami saya melakukannya dengan tenang."