Tujuh belas tahun lalu, denting kecapi Bugis-Makassar nyaris lenyap di Maros, Sulawesi Selatan. Karena ”kegilaan” Yusri Yusuf (53), denting kecapi itu terdengar lagi.Tiga laki-laki paruh baya asyik memainkan kecapi di atas bebatuan karst yang bertebaran di areal sawah yang telah dipanen di Dusun Rammang-Rammang, Maros. Mereka adalah Ramli dan Haji Tinggi, dua pemain kecapi yang sering tampil di sejumlah hajatan di Maros dan Makassar. Satunya lagi adalah Yusri Yusuf, pembuat alat musik kecapi dari Kampung Pammelakkang Jene’, Kelurahan Allepolea, Kecamatan Lau.”Dulu orang biasa memainkan kecapi sehabis panen sebagai ungkapan rasa syukur. Kalau sekarang kami lebih banyak main di acara hajatan perkawinan,” ujar Haji Tinggi.Yusri tidak pandai bermain kecapi, tetapi lulusan Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) Yogyakarta tahun 1980-an itu terampil membuatnya. Kecapi buah tangan Yusri belakangan menjadi incaran turis dan kolektor alat musik tradisional dari Malaysia, China, dan Amerika Serikat. Sebagian dari mereka memperoleh kecapi itu di toko suvenir di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Maros. Sebagian lagi langsung memesan ke rumahnya. Yusri menjual kecapinya mulai harga Rp 250.000. Di toko suvenir, harga kecapi itu bisa melonjak dua kali lipat.NostalgiaMasa-masa manis kebanjiran pesanan kecapi baru dinikmati Yusri delapan tahun terakhir. Sebelumnya, selama sembilan tahun ia berjuang mati-matian memproduksi dan memperkenalkan kembali kecapi yang telah dilupakan orang. ”Saya sampai dianggap orang gila oleh tetangga. Mereka bilang, ’Orang lain bikin gitar, saya malah bikin kecapi yang susah dijual’,” kata ayah tiga orang putra itu.Ketika Yusri terjun ke dunia kecapi, orang makin jarang memainkan kecapi. Anak-anak muda lebih kenal gitar. Padahal, ketika Yusri kecil, ia biasa menyaksikan orang-orang tua memainkan kecapi di balai-balai di bawah rumah panggung setiap malam untuk menghibur diri dan menyampaikan nasihat kepada anak-anak lewat syair. ”Syair yang didendangkan biasanya diambil dari lontara yang mengajarkan budi pekerti,” tambahnya.Yusri pun berusaha memproduksi kembali alat musik itu. Saat itu, ia tidak memiliki keterampilan membuat kecapi. Namun, ia tidak kurang akal. Ia cari kecapi tua dari berbagai kampung untuk dibedah isinya. ”Saya pelajari bagian dalamnya, saya simak suaranya,” ujarnya.Ini benda apa?Setelah berhasil membuat kecapi, persoalan yang dihadapi Yusri adalah bagaimana memasyarakatkan kembali alat musik tradisi itu. ”Saat itu anak-anak muda benar-benar sudah lupa dengan kecapi. Saya bagikan anak-anak muda suvenir gantungan kunci berbentuk kecapi. Mereka tanya, ini (alat musik) apa Pak?”Ia pun menjelaskan kecapi secara detail dan mendemonstrasikan cara bermain kecapi di depan anak-anak muda di kampungnya hingga mereka mulai tertarik memainkan kecapi.”Di festival (musik) Sulsel tahun ini bahkan ada anak perempuan kelas I SMA yang mahir main kecapi,” tambah Yusri. Laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri sipil itu makin senang ketika kecapi masuk dalam mata pelajaran muatan lokal Kesenian Sulsel di sejumlah sekolah di Maros dan Makassar. Sekolah-sekolah itu pernah memesan 20-30 kecapi kepada Yusri.