Fenomena badai atau pusaran angin kencang yang muncul di wilayah tropis oleh Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) dibagi ke dalam beberapa kategori. Di tingkat terendah, ada bibit badai menuju depresi tropis dengan batasan kecepatan di bawah 62 km/jam. Jika kecepatan angin meningkat menjadi 63-118 km/jam, itu menjadi badai tropis. Jika meningkat lagi, menjadi badai tropis dengan kategori satu hingga lima.
Kategori satu jika kecepatan angin berkisar 119-153 km/jam. Kategori dua jika kecepatan angin 154-177 km/jam. Kategori tiga jika kecepatan angin 178-208 km/jam. Di kategori ini, rumah dengan konstruksi baik sekalipun bisa rusak bagian atap dan bangunan. Kategori empat jika kecepatan angin berkisar 209-251 km/jam. Kategori lima, kecepatan angin lebih dari 252 km/jam.
Di kategori lima inilah badai tropis menjadi monster mematikan. Banyak wilayah yang kemudian terisolasi akibat hancurnya infrastruktur. Bahkan, kapal motor besi seperti di Filipina pun karam di daratan.
Badai topan Haiyan mengulang badai terburuk sepanjang sejarah. Kejadian di Filipina, negara tetangga Indonesia di timur laut, menewaskan korban lebih dari 10.000 jiwa. Bahkan, dampak buruknya sempat disebut seperti dampak tsunami Aceh.
Indonesia di ekuator patut bersyukur karena gaya coriolis turut menjauhkan badai atau topan. Sejauh ini, sebagian besar penduduk Indonesia hanya mengenal angin puting beliung/ceret/lesus yang biasa melanda kawasan antara dataran rendah dan perbukitan dengan angin lokal kurang dari lima menit.
Kemunculan Vamei, Fiona, dan Inigo hendaknya menjadi pemicu kesadaran pentingnya mitigasi bencana badai. Indonesia ternyata tak hanya terkena ekor badai, tetapi juga disinggahi badai tropis.