Topan Haiyan muncul di Samudra Pasifik, bergerak ke barat meluluhlantakkan Filipina. Tak cukup, topan lalu menuju barat daya melintasi Laut China Selatan, berbelok ke utara, hingga meluruh di daratan Vietnam. Berkali-kali Indonesia aman dari keganasan badai. Namun, ternyata tak selamanya Indonesia sungguh-sungguh aman.
Topan Haiyan ataupun topan lain secara umum selalu bergerak menjauh dari Indonesia, terpengaruh gaya coriolis di ekuator akibat rotasi bumi dari barat ke timur. Namun, tak selamanya demikian. Pernah tercatat badai tropis Vamei yang justru bergerak dari timur Singapura masuk wilayah Riau," kata Kepala Pusat Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Mulyono Rahadi Prabowo, Senin (11/11), di Jakarta.
Gaya coriolis merupakan gaya semu yang disebabkan perputaran rotasi bumi sehingga gerak angin dari belahan bumi utara seolah-olah berbelok ke kanan. Sebaliknya, angin berbelok ke kiri dari bumi selatan.
Bibit badai tropis Vamei pada tahun 2001 berada di Laut China Selatan, 230 kilometer timur Singapura, dengan koordinat 1,4 derajat Lintang Utara (LU). Bibit badai Haiyan tercatat di Samudra Pasifik di koordinat 6,4 derajat LU dan 156 derajat Bujur Timur, 3 November 2013.
Sehari kemudian, bibit badai ini tumbuh jadi badai tropis. Berikutnya, Haiyan meningkat jadi badai kategori satu, dua, tiga, empat, dan memasuki kategori maksimal lima dengan kecepatan angin di atas 252 kilometer per jam (km/jam) pada 6 November 2013. Kategori lima ini berlangsung hingga 8 November 2013 dan meluluhlantakkan lintasan 600 km dari timur ke barat di Filipina.
Pejabat Filipina memperkirakan Haiyan menewaskan lebih dari 10.000 penduduk. Haiyan juga mengingatkan pada badai Katrina, Agustus 2005, yang menjadi badai terburuk dalam sejarah di Amerika Serikat dengan kategori lima pula.
Indonesia yang juga menyandang sebagai negeri bencana patut bersyukur. Badai atau topan yang ganas tak pernah melintas di wilayah ekuatorial.
Kepala BMKG Andi Eka Sakya dalam konferensi pers seusai pembukaan APEC Climate Symposium kemarin di Jakarta mengatakan, badai tropis tak pernah berdampak langsung di Indonesia. Namun, kelangsungannya sering mengganggu, seperti angin kencang, gelombang laut tinggi, dan hujan deras ekstrem. Korban setiap tahun juga selalu berjatuhan.
Badai Vamei
Data mencatat, badai Vamei muncul di koordinat 1,4 derajat LU di Laut China Selatan, 26 Desember 2001. Badai itu bergerak ke barat daya melintasi Riau dan meluruh di daratan Sumatera pada 28 Desember 2001. Kecepatan angin maksimumnya 140 km/jam. ”Wilayah daratan yang ekstrem panas di Riau diperkirakan memicu badai Vamei ini melintas justru mendekati wilayah ekuator,” kata Mulyono.
Selain Vamei, badai tropis Fiona tercatat di selatan Jawa Tengah pada Februari 2003 yang dikabarkan menghilangkan sebuah pesawat latih yang hingga kini belum ditemukan. Ada pula badai tropis Inigo yang memicu banjir bandang dan gelombang tinggi di Pulau Flores, April 2003 (Kompas, 19/9/2003).
Data ini menunjukkan, tak selamanya badai tropis/topan selalu menjauh dari ekuator. Mulyono mengatakan, selama ini belum pernah tercatat badai tropis menyeberang titik koordinat nol atau ekuator. Terkait topan Haiyan di utara ekuator pada bulan November, memang anomali. ”Bulan November, rata-rata empat sampai lima kali badai tropis terjadi di selatan ekuator,” katanya.
Kategori badai
Fenomena badai atau pusaran angin kencang yang muncul di wilayah tropis oleh Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) dibagi ke dalam beberapa kategori. Di tingkat terendah, ada bibit badai menuju depresi tropis dengan batasan kecepatan di bawah 62 km/jam. Jika kecepatan angin meningkat menjadi 63-118 km/jam, itu menjadi badai tropis. Jika meningkat lagi, menjadi badai tropis dengan kategori satu hingga lima.
Kategori satu jika kecepatan angin berkisar 119-153 km/jam. Kategori dua jika kecepatan angin 154-177 km/jam. Kategori tiga jika kecepatan angin 178-208 km/jam. Di kategori ini, rumah dengan konstruksi baik sekalipun bisa rusak bagian atap dan bangunan. Kategori empat jika kecepatan angin berkisar 209-251 km/jam. Kategori lima, kecepatan angin lebih dari 252 km/jam.
Di kategori lima inilah badai tropis menjadi monster mematikan. Banyak wilayah yang kemudian terisolasi akibat hancurnya infrastruktur. Bahkan, kapal motor besi seperti di Filipina pun karam di daratan.
Badai topan Haiyan mengulang badai terburuk sepanjang sejarah. Kejadian di Filipina, negara tetangga Indonesia di timur laut, menewaskan korban lebih dari 10.000 jiwa. Bahkan, dampak buruknya sempat disebut seperti dampak tsunami Aceh.
Indonesia di ekuator patut bersyukur karena gaya coriolis turut menjauhkan badai atau topan. Sejauh ini, sebagian besar penduduk Indonesia hanya mengenal angin puting beliung/ceret/lesus yang biasa melanda kawasan antara dataran rendah dan perbukitan dengan angin lokal kurang dari lima menit.
Kemunculan Vamei, Fiona, dan Inigo hendaknya menjadi pemicu kesadaran pentingnya mitigasi bencana badai. Indonesia ternyata tak hanya terkena ekor badai, tetapi juga disinggahi badai tropis.