Kesepakatan Global dalam Penanganan Perubahan Iklim Kian Mendesak

By , Kamis, 14 November 2013 | 14:10 WIB

Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) 19 dari Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Warsawa, Polandia, secara resmi telah dibuka pada Senin kemarin (11/11) waktu setempat.

COP19 yang dihadiri 200 perwakilan negara ini merupakan perundingan yang ke-9 dari Protokol Kyoto (CMP9) yang bertujuan mencapai kesepakatan penurunan emisi gas rumah kaca.

Di dalam pertemuan Warsawa pembahasan akan dilakukan dalam dua kerangka waktu penanganan perubahan iklim, yaitu implementasi hingga 2020 dan kesepakatan multilateral baru yang melibatkan semua negara pihak (applicable to all parties) serta mengikat (legaly binding agreement) pasca 2020.

Kebutuhan adanya kesepakatan global yang mengikat untuk penanganan perubahan iklim makin mendesak, karena dampak dari perubahan iklim makin nyata, merujuk pada laporan berkala Fifth Assesment Report IPCC, yang telah dikeluarkan beberapa minggu yang lalu.

Disebutkan, bahwa suhu bumi sepanjang tahun ini tercatat sebagai yang terhangat ketujuh—sejak pencatatan suhu bumi dimulai pada tahun 1850. Ditambah dengan tren cuaca ekstrem dan dampaknya; di antaranya supertopan Haiyan, yang merupakan salah satu topan terkuat sepanjang sejarah. Gas rumah kaca di lapisan atmosfer yang ditimbulkan oleh aktivitas-aktivitas manusia telah membuat suhu di Bumi yang terus menghangat tak terelakkan.

Rata-rata kenaikan permukaan air laut 3,2 milimeter per tahun, mengalami peningkatan dua kali lipat dibandingkan tren abad lalu yang hanya 1,6 milimeter.

Dalam pidato pembukaannya, Sekretaris Eksekutif UNFCCC Christian Figueres, mengharapkan adanya hasil yang positif dari COP19, seperti kejelasan arah dan elemen bagi kesepakatan perubahan iklim yang berlaku secara universal pasca 2020.

Dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, para Negara Pihak UNFCCC telah menyepakati bahwa pada COP20 di Peru di akhir 2014, akan dihasilkan draf teks kesepakatan untuk dapat difinalkan di pertengahan 2015. Selanjutnya kesepakatan ini dapat diadopsi dalam COP21 di Paris, Prancis pada tahun 2015.

“Menurut timetable dari UNFCCC, perundingan di Warsawa dianggap sebagai akhir dari perjalanan panjang negosiasi yang telah berjalan alot untuk memastikan keberlanjutan pengendalian perubahan iklim global. Dalam COP19 ini ditargetkan dapat disepakati elemen-elemen dari kesepakatan di tahun 2015 yang akan dinegosiasikan hingga pertengahan 2015,” kata Rachmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim yang juga adalah Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) selaku Ketua Delegasi RI (Delri) dalam pertemuan Warsawa ini.

Delri menekankan pentingnya peningkatan komitmen dan aksi negara maju untuk memenuhi tanggung jawabnya untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Mengingat sebagian negara maju tidak berada di bawah Protokol Kyoto, maka Delri menuntut negara-negara tersebut untuk dapat menunjukkan komitmen dan aksi nyata mitigasi yang dapat disetarakan agar tercapai target global, yaitu kenaikan suhu rata-rata global yang tidak melebihi 2 derajat Celcius pada tahun 2020 dibanding suhu rata-rata global sebelum Revolusi Industri.

Salah satu tindakan nyata yang diperlukan adalah untuk meratifikasi segera Amandemen Doha sebagai kekuatan hukum implementasi Protokol Kyoto periode komitmen kedua. UNFCCC sendiri telah meminta seluruh Negara Pihak untuk mempersiapkan dan menetapkan target mitigasi pasca 2020 pada COP20 di Peru tahun 2014.