Melewati pengamatan bertahun-tahun, dari Ternate pada 9 Maret 1858, Alfred Russel Wallace menulis “On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type.” Dalam kegesaan, makalah ringkas itu dia tulis selama dua malam, setelah lebih dari sepuluh tahun dia berspekulasi dan melakukan penelitian cermat. Tulisan itu dikirim via pos dengan kapal Belanda, tepat setahun sebelum Charles Darwin merilis karyanya yang terkenal: ‘On the Origin of Species’. Pada 2008 lalu, melalui ‘International Conference on Alfred Russel Wallace and The Wallacea’ di Makassar, peristiwa Ternate itu diperingati sebagai peristiwa akbar yang berulang tahun ke-150.Tahun ini, tepat seratus tahun wafatnya Wallace pada 7 November 1913 dirayakan Wallace100 di seluruh dunia. Di Indonesia, Wallace100 dirayakan dengan The Second International Conference on Alfred Russel Wallace and the Wallacea, dengan tagline “Defining Wallacea”, di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 10 – 13 November lalu.
Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sangkot Marzuki menuturkan seluruh dunia merayakan Wallace100. “Ada seminar, ada pameran di Singapura, Sarawak, India, Cina dan Inggris,” jelas Sangkot di Wakatobi.Kenangan bagi Wallace digelar di berbagai kota di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Brazil, India, Sarawak, Singapura dan kepulauan Nusantara. Sangkot menambahkan, karya unggul Wallace lahir dari perjalanannya di Indonesia. “Memang ada yang ditulis di Serawak, tapi karya sejatinya ditulis di Ternate,” tuturnya merujuk pada naskah Wallace tentang evolusi. Selain karya tulis tentang teori evolusi itu, satu warisan Wallace yang hingga kini abadi di Indonesia adalah garis Wallace yang membelah kawasan Nusantara. Garis ini membentang dari Selat Lombok hingga ke utara menembus Selat Makassar.Itulah yang membedakan konferensi di Wakatobi dengan perhelatan yang lain di dunia. “Konferensi yang lain masih membahas siapa yang lebih dulu menemukan teori evolusi, Charles Darwin ataukah Wallace. Murni mengingat yang lama. Itu penting, karena kita harus mengenang jasa pendahulu. Tapi kita unik, karena punya Wallacea,” Sangkot menjelaskan. “Tidak mungkin Singapura, Sarawak, atau negara lain mengangkat tentang Wallacea.” Wallacea mencakup Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara sebagai zona transisi yang terkurung dari Asia ataupun Australia oleh laut dalam. Dengan demikian, warisan Wallace untuk dunia itu berada di Indonesia. Kawasan Wallacea dikenal bergelimang keanekaragaman hayati baik di darat maupun perairan.Tak mengherankan, perayaan yang dihadiri para pakar ini membahas masa depan Wallacea sebagai warisan untuk masyarakat dunia. Kondisi geografi yang unik, dengan pulau-pulau hasil pergulatan geologi jutaan tahun silam, mensyaratkan keseimbangan pembangunan dan konservasi. “Fokusnya tidak hanya daratan, tapi juga harus menyangkut perairan,” imbuh Sangkot.Pesan itulah yang ingin digemakan konferensi Wallace100 di Wakatobi kali ini. “Kalau di tingkat daerah, di Ternate, Wakatobi, Makassar, sudah mengerti nilai penting kawasan Wallacea,” jelasnya, “kita ingin menyentuh para pengambil kebijakan di Jakarta.”