Jawabannya sederhana saja: Kedah paling sering disebutkan dalam prasasti-prasasti terkait Sriwijaya. Setidaknya prasasti-prasasti yang dibuat oleh Kerajaan Chola dari India Selatan (Tamil) pada awal abad ke-11. Suatu prasasti yang sekarang disimpan di Leiden (Belanda), misalnya. Prasasti milik Rajaraja I dari Chola itu mengisahkan pembangunan wihara Cudamanivarmavihara di Nagipattana (Nagapattinam). Peristiwanya terjadi pada 1006. Sekelumit isinya: “Yang dibangun dengan nama ayahnya oleh Marawijayotunggawarman yang mulia... yang lahir dalam Wangsa Sailendra, yang merupakan raja Sriwijaya, yang menyelenggarakan pemerintahan Kedah.”
Anak sekaligus penerus Rajaraja I yakni Rajendra Chola I, juga menyebutkan Sriwijaya dan Kedah dalam prasastinya. Pada 1025, melalui berita prasasti Tanjore (Thanjavur), Rajendra Chola membanggakan penyerbuannya terhadap Sriwijaya. Raja Sriwijaya saat itu, Sanggramawijayottunggawarman “yang berkedudukan di Kedah” berhasil ditawan.
Ahli-ahli sejarah India seperti Nilakanta Sastri dan RC Majumdar pada beberapa dekade lalu membuat analisis. Diperkirakan, orang-orang Tamil menyebut Kedah karena kota pelabuhan itu kerap berinteraksi dengan India. Letak Kedah berhadap-hadapan dengan pesisir timur dan selatan India—dipisahkan oleh Samudra Hindia.
Para pedagang dari Arab juga mengenal Kedah sejak lama, karena posisi geografisnya. Abu Said Hasan pada 916 menulis suatu tempat bernama Kalah (Kedah): “Negeri maritim Kalah, antara Arabia dan Cina, juga termasuk wilayah kekuasaan maharaja. Kalah merupakan pusat perdagangan gaharu, kamper, cendana, gading, timah, kayu hitam, rempah, dan berbagai produk lain. Terdapat pelayaran reguler antara tempat ini dengan Oman.”
Bagaimanapun, pertanyaan inti yang mengemuka dari isi prasasti Tanjore belum terjawab: Mengapa raja Sriwijaya berkedudukan di Kedah? Mengapa bukan di Palembang atau Jambi? Apakah ada kaitannya dengan peperangan Sriwijaya dan Jawa pada akhir abad ke-10?
Pengamat sejarah Takashi Suzuki menyebutkan, ketika Sriwijaya disebut sebagai Sanfotsi oleh Bangsa Cina sejak abad kesepuluh, pelabuhan utamanya ada tiga: Jambi, Chaiya, dan Kedah. “Sanfotsi berarti Tiga Wijaya,” sebut Takashi. Benarkah? Mengapa Palembang tidak dihitung?
Simak kisah Sriwijaya bagian kedua dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Desember 2013.