“Semua perempuan yang berada di hunian dalam keraton tetap dihormati, dan kepemilikan harta mereka turut dilindungi. Dalam kesempatan seperti ini diperlukan disiplin yang sangat tegas, bahwa tak satupun orang dianiaya atau pun kebiadaban berlangsung.”Pernyataan tadi ditulis oleh Kapten William Thorn, seorang perwira Kerajaan Inggris, dalam Memoirs of The Conquest of Java yang terbit tiga tahun setelah penaklukan Yogyakarta. Thorn terlibat dalam pertempuran 19-20 Juni 1812. Tampaknya, ada yang luput dari perhatian Thorn tentang peristiwa menyerahnya Sultan. Sabtu pagi yang penuh kekalutan. Pertempuran antara serdadu Kerajaan Inggris dan laskar Keraton Yogyakarta masih berlanjut, namun dengan skala yang mengecil. Semua kubu pertahanan Sultan Hamengkubuwana II sudah dikuasai serdadu-serdadu sepoy India. Keraton sudah sangat terdesak, serdadu-serdadu berseragam merah khas Kerajaan Inggris telah menyeruak ke dalam keraton.
Peter Brian Ramsay Carey dalam Kuasa Ramalan yang terbit pada 2011 mengungkapkan suasana jatuhnya Keraton Yogyakarta lewat pemerian Babad Bedhah ing Ngayogyakarta. Dia merupakan Professor Emeritus di Trinity College, Oxford, Inggris, dan kini dia juga menjabat sebagai Adjunct Professor di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Babad itu ditulis Pangeran Panular, salah satu putera Sultan. Saat pagi menjelang Sultan dan keluarganya berbusana serba putih, bahkan kursi-kursi pun dibalut kain putih. Sultan telah memerintahkan semua kepala laskar prajurit keraton untuk meletakkan senjata dan mengibarkan bendera putih. Sebelum pukul sembilan Sultan sudah menjadi tawanan.
Dalam tawanan itu termasuk sekitar 300 laskar perempuan pengawal Sultan. Mereka adalah para perempuan yang dididik untuk berperilaku lembah lembut dan bertindak tegas secara militer. Mereka mahir menggunakan senapan dan menunggang kuda.
Babad tersebut juga mengisahkan betapa terhinanya Sultan saat itu. Mereka merelakan segala senjata dilucuti oleh serdadu Inggris dan sepoy. Kemudian diarak dengan pengawalan menuju Wisma Residen yang berlokasi di barat benteng Vredeburg.
Menurut Carey, Sultan menyerahkan keris, pedang, dan belatinya. Seluruh senjata pusaka keraton yang disita yaitu Kiai Paningset, Kiai Sangkelat, Kiai Urub, Kiai Jinggo, Kiai Gupito, Kiai Joko Piturun, dan Kiai Mesem. Namun, tatkala penobatan Hemangkubuwana III senjata pusaka itu dikembalikan lagi ke keraton, kecuali pedang dan belati karena Raffles kelak mengirimkan kepada Lord Minto di India sebagai tanda penaklukkan Keraton Yogyakarta kepada Kerajaan Inggris. Bahkan, kancing-kancing emas yang melekat di busana kebesaran Sultan dijarah oleh para serdadu sepoy India. Berbagai senjata, gamelan, wayang, ratusan kitab sejarah Jawa, dan naskah-naskah daftar tanah kerajaan turut dijarah. Bahkan, Babad Bedhah ing Ngayogyakarta juga berkisah bahwa selama empat hari lebih harta rampasan perang diangkut dengan pedati ke Wisma Residen. Kuli pengangkutnya berasal dari pengawal dan kerabat dekat Sultan sendiri. Sementara, sebagai seorang Letnan Gubernur Jenderal, Thomas Stamford Raffles pun tak ketinggalan. Dia turut menjarah dan mengangkut harta keraton yang nilainya sekitar 200.000 hingga 1.200.000 dolar Spanyol.
Kolonel Rollo Gillespie, seorang Panglima Tentara Inggris di Jawa, menjarah 800.000 dolar Spanyol. Sebesar 74.000 dolar Spanyol (sekitar 27 miliar rupiah untuk kurs kini) untuk dirinya sendiri, sisanya dibagi-bagikan ke perwira lain di bawahnya. Sebagian lagi, sebesar 7.000 dolar Spanyol (sekitar 2,5 miliar rupiah untuk kurs kini) dibagikan kepada legiun Pangeran Prangwedana dari Mangkunagaran. Pustaka naskah itu tidak kembali ke Jawa—setidaknya hingga hari ini. Menurut pemerian Carey, sekitar 55 naskah Jawa milik Raffles, sebagian besar diserahkan kepada Royal Asiatic Society pada 1830. Koleksi naskah jarahan Raffles bukanlah yang terbanyak. Kolonel Colin Mackenzie memiliki 66 naskah Jawa milik Keraton Yogyakarta. Sementara, sekitar 45 naskah Jawa koleksi John Crawfurd, seorang Residen Yogyakarta, sebagian besar dijual kepada British Museum pada 1842. Babad tersebut juga berkisah tentang penjarahan yang tampaknya membabi buta terhadap barang-barang perhiasan milik perempuan keraton. Serdadu-serdadu itu memasuki wilayah keputren. Seorang istri resmi Putra Mahkota dilucuti perhiasan dan pakaian kebesarannya. Salah seorang perwira Inggris tewas ditikam seorang perempuan keraton lantaran sang perwira akan membawanya sebagai rampasan perang, demikian paparan Carey dalam bukunya.
Peristiwa ini hanya terjadi sekali dalam sejarah Jawa, ketika istana sebagai lambang kedaulatan penguasa lokal diserang, dijarah, dan ditundukkan oleh pasukan Eropa.