Tak punya banyak waktu saat berada di Nagoya-shi? Ikuti langkah saya berwisata cepat menelusuri kota yang menjadi pusat peradaban Prefektur Aichi di bagian tengah Pulau Honshu ini. Saya berani menjamin Anda bakal dapat menikmati kota industri berdenyut cepat.
Saya hanya memiliki waktu sekitar delapan jam untuk menuntaskan petualangan Nagoya pada beberapa waktu lalu. Dari angka populasi, Nagoya menjadi kota terbesar keempat. Kota ini menjadi pusat dari wilayah metropolitan Chukyo, selain Tokyo dan Osaka.
Jejak Nagoya sebagai perniagaan sejak lampau masih kentara. Kota di pesisir Samudra Pasifik ini sempat menjadi rumah Tokugawa Ieyasu, seorang Shogun penguasa Jepang pada abad ke-17. Dengan demikian, kita dapat dengan mudah tempat yang menjelaskan perkembangan industri di berjuluk ibu kota Jepang bagian tengah ini. Saya berharap Anda juga dapat menarik benang merah sekaligus menikmatnya seperti saya.
Barisan mesin berumur lebih dari satu abad, terlihat bagaikan baru diaktifkan beberapa tahun. Saya terkesima melihat bagaimana mesin-mesin tua itu beroperasi. Bunyi mekaniknya merdu membuai telinga. Satu hal lain yang menandakan bahwa mereka sudah berumur hanyalah kesederhanaan teknologi yang digunakan. Sebuah teknologi yang pernah sangat canggih di akhir abad 19.
Perjalanan sejarah meninggalkan bekas manis melalui tempat yang memuat kisah panjang itu. Dengan penyajian yang menarik, tempat ini sekaligus menunjukkan ketetapan hati sang pemilik untuk merawatnya. Begitulah, saya tengah menikmati bagian dalam Toyota Commerative Museum of Industry and Technology yang terletak di Noritake Shinmachi 4 Chrome, Nishiku.
Saya mengenal Toyota sebagai sebuah perusahaan otomotif terbesar dunia. Itu sebabnya, saya tertarik menyinggahi museum itu. Namun berwisata sejarah ke tempat yang menyimpan kisah panjang merek legendaris itu telah membuat pengetahuan saya meluas.
Apabila mengamati bentuk bangunan dari luar, saya bertaruh Anda akan berkernyit. Bentuknya lebih mirip benteng ketimbang sebuah gedung museum pada umumnya. Saya pun kesulitan mendapatkan petunjuk arah ataupun papan informasi. Begitu memasuki bagian lobi, saya barulah meyakini, tujuan saya tidak salah. Saya semakin bergairah mencari tahu lebih dalam meseum dengan harga tiket 500 yen ini.
Bagian lobi ternyata menyimpan keunikan. Tak ada mobil pamer di sini. Saya justru mendapatkan suguhan sebuah mesin tenun raksasa, yang diletakkan di dekat pintu masuk. Wah, adakah hubungan antara tekstil dan otomotif di dalam kisah perjalanan Toyota? Saya penasaran dan segera mencari jawaban.
Seperti ingin membuat kejutan bagi setiap pengunjung, pengelola museum memang sengaja menata benda sejarah yang mungkin di luar dugaan awam di bagian depan. Rupanya, Toyota tidak hanya lekat dengan industri otomotif. Sakichi Toyoda yang mendirikan perusahaan pada akhir abad 19 juga dikenal sebagai salah satu pembuat mesin tekstil. Nah, salah satu karyanya yang fenomenal adalah mesin tenun besar yang dipamerkan di bagian lobi tadi.
Saya terus mengikuti jalannya sejarah. Saya menjumpai barisan mesin-mesin tekstil yang dipamerkan di paviliun seluas 3.846 meter persegi. Di paviliun yang didedikasikan pada karya-karya Sakichi Toyoda ini, saya juga bisa mempelajari sejarah pengolahan tekstil dunia. Karena, museum ini juga menampilkan berbagai alat-alat tekstil pada masa itu, guna mendampingi alat-alat hasil karya perusahaan Toyoda. Saya pantas memberikan nilai A kepada pengelola, lantaran berhasil memukau dengan mempertontonkan cara kerja alat-alat berumur tadi sebagaimana fungsinya. Saya dan pengunjung lainnya tak jemu menikmati peragaan ini.
Hal yang sama juga berlaku di Metal Processing Room yang menjadi tujuan selanjutnya. Di sini, saya menyaksikan bagaimana sebatang logam besi dapat diproses menjadi berbagai macam aksesori untuk mesin. Saya bahkan mendapatkan buah tangan sebuah torsi kecil yang masih hangat lantaran baru keluar dari bagian manufaktur.
Saya tidak ingin lekas pergi. Saya menyinggahi Automotive Pavilion. Di paviliun ini, diperlihatkan bagaimana cerita keluarga Toyoda membelokkan bisnisnya ke industri otomotif pada tahun 1930-an. Putra Sakichi Toyoda, Kiichiro Toyoda, memprakarsai perubahan itu. Proses yang akan mengubah kisah Toyota pada abad modern ini tergambar melalui diorama, yang bercerita tentang proses pembuatan mobil pertama Toyota yang dikenal sebagai Toyoda type A secara detil.
Tanpa terasa saya telah melewatkan lebih dari dua jam untuk memahami kisah panjang produsen otomotif yang manajemen organisasi dan produksinya begitu rapi. Saya melepas penat sejenak di kafe terletak di selasar belakang sambil menikmati gedung tua seperti benteng yang ternyata merupakan rekonstruksi pabrik pertama Toyota di Nagoya. Saya pun bersiap menuju objek berikutnya.