Memulung Durian Runtuh Sibolangit

By , Kamis, 21 November 2013 | 13:17 WIB

Pasta Sembiring menuntun langkah kami petang itu. Redup hari menjelang magrib kian pekat saat kami memasuki kebun bertajuk lebat di Batu Layang, Sibolangit. “Tidak jauh, hanya sepuluh menit,” ujar Pasta. Kami tak bisa menebak seberapa jauh kebun milik lelaki berkulit gelap ini.

Sementara kami terengah-engah, “Masih lima belas menit lagi,” katanya. Kami terkesiap, bayangan tubuh akan berpeluh-peluh melintas di benak kami.

Dia agaknya sedang berkelakar. Hanya beberapa langkah di depan kami, samar-samar nampak sebuah gubuk sederhana. Pasta menyibaki barang-barang di gubuknya itu. Sesuatu yang dicarinya tak ada. Tak seberapa lama, satu butir durian dia temukan.

“Tadi ada keluarga berkunjung, sebagian kita bagi-bagi. Kita bisa cari lagi,” paparnya sambil bergegas mencari durian runtuh. Dua buah durian yang telah berlubang dia bawa. Durian hasil seleksi binatang dijamin matang.

Remang senja kembali menelan tubuhnya, Pasta masih penasaran untuk memulung durian. “Kita tak beruntung,” teriak Pasta yang kembali hanya dengan sebutir durian. Empat buah durian sudah cukup buat kami.

Sepanjang hari itu, perut kami sudah sesak dengan durian. Lambung telah panas, namun lidah tak bisa menolak rasa manis bercampur pahit buah berkulit duri itu. Cita rasa durian Sibolangit mengalahkan aromanya yang sering dianggap mengganggu oleh banyak orang.

Buah beraroma khas ini membawa berkah, menggerakkan ekonomi sebagian warga Deliserdang. Ketika panen tiba, durian memancing tawa bahagia.

Selain dijual di tepi jalan raya Sibolangit, durian menyebar turun ke Medan, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam dan sekitarnya. Bahkan, jejak durian sampai ke Ibukota Jakarta. Rumah makan Woong Rame di Tanjung Morawa misalnya, melayani pengiriman durian ke Jakarta. “Satu kardus seberat 25 kilogram, kira-kira berisi 15 durian,” ujar pengelola restoran sembari melirik tumpukan kardus yang siap diisi durian. “Harganya, 650 ribu rupiah, sudah sampai Jakarta.”

Tanah-tanah vulkanik yang subur di utara Danau Toba itu ditanami berbagai jenis buah tropis, kopi, kakao, karet, dan pinang. Aneka tanaman ini membentuk tajuk berlapis-lapis. Di kebunnya, kira-kira satu hektare, Pasta menerapkan cara bertanam polikultur—kebalikan monokultur. Meski gelap, kami masih bisa melihat durian, kakao, kopi, dan petai, yang dipupuk dengan kotoran kambing yang juga dipelihara di situ.

Tak perlu heran bila sering mendengar gurauan: durian (seluas) sehektar, kopi sehektar, kakao sehektar. Kelakar ini lebih menggambarkan teknik polikultur yang telah lama dipraktikkan di Sibolangit: sebidang lahan, beragam tumbuhan.

Kisah ini pernah disajikan dalam sisipan National Geographic Indonesia, "Deliserdang: Penyandang Gerbang Barat Tanah Air".