Kawanan belalang menyikat semua vegetasi yang ada di jalur mereka: mencari protein, garam, dan air. Kala sumber itu habis, mereka berubah menjadi kanibal.
Belalang tidak suka berada di sekitar satu sama lain. Mereka mengubah warna dan perilaku saat dalam kelompok, dan mulai membentuk kawanan.
Mereka adalah "Jekyll dan Hyde"-nya dunia insekta. Bayangkanlah jutaan serangga melompat, masing-masing berusaha memakan serangga yang ada di depannya.
Mauritania mengalami serbuan hama belalang di segala penjuru negeri. Tim kami yang mempelajari wabah di sana, ingin tahu lebih banyak. Saat mengambil seekor belalang untuk diperiksa lebih saksama, tangan saya bengkak.
Zat kimia beracun pada serangga bereaksi di bawah sinar matahari saat menyentuh kulit saya. Yang membuat keadaan menjadi lebih buruk, kami berada di tempat sejauh dua hari berkendara di luar ibukota Mauritania, di tengah padang pasir, dan baru saja kehabisan makanan.
Di seluruh Mauritania terjadi kekurangan, karena belalang memakan tanaman pangan. Kami tidak bisa memakan belalang yang biasanya merupakan sumber protein, karena mereka beracun. Kami semakin putus asa setelah satu dua hari.
Kami pun berusaha membeli makanan dari suku nomaden yang beristirahat untuk minum teh, dan berhasil mendapatkan sejumlah jeroan unta. Padahal sudah selama satu dekade saya menjalani hidup sebagai vegetarian.
Kami keringkan jeroan tersebut di pohon di luar perkemahan. Setelah memakannya, saya mengalami kejang otot, muntah-muntah, serta mulai halusinasi.
Saya berada di dunia mimpi, dan bukan mimpi yang indah pula. Kami sangat kekurangan air, tidak memiliki peralatan medis kecuali sejumlah antibiotik, dan tidak punya cara lain untuk menghindari pajanan matahari selain terpanggang di dalam tenda pengap kami. Tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu.
Setelah saya mulai pulih beberapa hari kemudian dan kami mendapat tambahan perbekalan, badai pasir besar memaksa kami untuk tetap berada di tenda selama satu setengah hari lagi. Kami hanya bisa menunggu badai berlalu.