Amboyna, Setelah 150 tahun Penjelajahan Wallace

By , Jumat, 22 November 2013 | 19:55 WIB

Usai dua puluh jam pelayaran dari Banda, pada Desember 1857, Alfred Russel Wallace mendarat di Amboyna. Semenjak itu, dia wira-wiri mengunjungi kawasan yang kini disebut Ambon itu pada Oktober 1859 dan Februari 1860.

Di sana, dia mencatat kesan-kesannya tentang perairan Teluk Ambon. “Dasar air diselimuti rangkaian koral, spons, anemon dengan beragam bentuk dan warna cemerlang,” tulisnya.

Dia melanjutkan, mungkin tak ada tempat lain di dunia yang kehidupan laut, koral, kerang dan ikan-ikannya lebih kaya dari pelabuhan Ambon. Setelah 156 tahun, apa yang terjadi dengan Teluk Ambon yang bergelimang terumbu karang itu?

Direktur Pusat Kajian dan Penelitian Kelautan Universitas Pattimura Gino V. Limmon punya catatan yang mengabarkan kondisi Teluk Ambon itu.“Itu surga perairan,” jelas Gino,“dan Wallace sangat terpesona dengan kekayaan terumbu karang di Teluk Ambon.”

Kendati tidak tahu di mana Wallace mengamati terumbu karang, Gino punya kenangannya sendiri. “Saat kecil, Teluk Ambon itu taman laut. Artinya, kekayaan dan biota laut sangat tinggi.”

Sayangnya, kini dasar laut Teluk Ambon berselimut lumpur. “Memang masih ada satu spot yang berterumbu karang. Tapi saat saya kecil, saya tahu di daerah Pandan Kasturi ada taman laut. Sekarang sudah penuh lumpur,” lanjut pria asli Ambon ini.

Teluk Ambon terdiri dari bagian dalam dan luar. Pada 1993 lalu, Gino melakukan riset di empat spot di Pulau Ambon. Saat dia kembali meneliti dua puluh tahun berselang, terumbu karang di sana nyaris punah. “Satu site di Teluk Ambon luar, di Wae Ame tepatnya, masih ada reef patch kecil.Jadi bisa dibayangkan, taman laut yang dulunya luas sudah lenyap. Surga itu sudah hilang,” tegas Gino di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Kini yang tertinggal hanya ada beberapa reef patch di Teluk Ambon dalam, salah satunya yang dekat pemukiman di Wae Ame. Gino menambahkan, penutupan karang di kedalaman 3 meter, turun dari 60 persen menjadi hanya sekitar 30 persen. “Di kedalaman 10 meter, dulu ada karang, sekarang tak ada lagi.”

Tak hanya penutupan karang yang berkurang, tapi jumlah jenis karang juga menurun. “Terutama karang-karang bercabang yang hampir lenyap dari perairan Teluk Ambon.” Dari pengukuran parameter lingkungan, Gino mengetahui masalah utamanyaadalah sedimentasi dan input nutrien dari daratan. “Jadi itu dampak antropogenik, dari aktivitas manusia,” imbuh doktor biologi moluker ini.

Sedimentasi punya pengaruh besar bagi karang. Yang pertama, sedimen menutupi sinar matahari. “Karang hidup bersimbiosis dengan alga Zooxanthellae yang butuh fotosintesis. Kalau perairan tertutupi sedimen, akan mengurangi penetrasi sinar matahari. Itu kenapa pada kedalaman 10 meter tak ada karang lagi,” beber Gino.

Kedua, tumpukan sedimen akan menutupi dasar laut. Larva karang hanya bisa berkumpul pada tempat yang bersih tanpa partikel sedimen. “Makanya, tidak ada perkembangan terumbu karang.”

Gino mengisahkan masalah di Teluk Ambon tidak serumit yang dibayangkan. Perusakan terumbu karang bisa disebabkan oleh perikanan destruktif, polusi, atau perubahan iklim. “Tapi di Ambon sangat sederhana. Di sana tidak ada industri, sehingga masalah utamanya sedimentasi. Itu  karena kita menggarap lahan tanpa perencanaan yang bagus.”

Untuk mengurangi sedimentasi, Gino memaparkan perlunya kerjasama antara pemerintah daerah dan akademisi untuk membuat rencana pengelolaan yang berkelanjutan. “Kita harus punya rencana khusus untuk daerah yang khusus.”

Bagi kawasan timur, Gino menegaskan harus ada perencanaan ruang setiap daerah—yang berpulau-pulau. “Tidak bisa mengadopsi cara pembangunan dari kawasan barat Indonesia.”Lantaran itu, dia menyarankan ada kerjasama antara akademik sebagai pemikir dengan pemerintah sebagai pembuat kebijakan.