Belum banyak seniman yang mengangkat cerita heroik pahlawan nasional Pangeran Dipanagara dalam sebuah pertunjukan teater. Namun, oleh seniman teater Landung Simatupang, kisah itu dipentaskan dengan apik dalam sebuah pembacaan dramatik berjudul "Sang Pangeran di Keresidenan”, akhir pekan lalu.
Landung sengaja mengambil lokasi pementasan di Bakorwil II Kedu Surakata, di Jalan Diponegoro Nomor 1 Kota Magelang. Sebab, tempat itu menjadi saksi bisu ketika Pangeran Dipanagara ditangkap secara licik oleh Belanda yang dipimpin Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock.
Di sinilah aktor film Laskar Pelangi itu membaca dramatik setiap jengkal kisah Dipanagara. Bukan hanya membaca seluruh teks, Landung pun menyusun ulang teks sendiri dalam satu pemaknaan dan dalam konteks seni pertunjukan.
Dalam karya inilah diambil sisi paling kritis, sedangkan dalam panggung dihadirkan sosok seorang Pangeran Dipanagara yang diperankan sejumlah pelakon dari Teater Gadjah Mada.
Cerita semakin heroik karena didukung tata panggung dan musik tradisional. Dalam pembacaan dramatik itu, Landung menggunakan sejumlah sumber. Di antaranya dari buku Kuasa Ramalan karya Peter Carey dan Babad Dipanagara (1831-1832).
Lewat dua referensi itu, Landung mencoba menguak informasi kunci tentang peristiwa kepahlawanan paling besar di Jawa yang dilakoni Pangeran Dipanagara. Tidak hanya pada sisi heroiknya, namun juga digambarkan sisi individu Dipanagara yang sangat religius, serta sisi di mana dia juga begitu dekat dengan hal-hal supranatural.
Dikatakan Landung, Dipanagara yang memiliki sosok religius sekaligus mendapat pencerahan supranatural sebenarnya dapat memahami gelagat orang lain hanya dengan melihat wajahnya.
Namun kala itu, Dipanagara benar-benar tidak menyangka, Markus de Kock yang sudah dianggapnya sebagai sahabat justru mengkhianati niatan baiknya. ”Sang Pangeran ditangkap secara licik dan curang di ruang baca Jenderal de Kock. Dan selanjutnya, dia dikirim dengan kereta de Kock ke Ungaran. Setelah itu, ia lantas di bawah ke Keresidenan Semarang dan dengan kapal dibawa ke Batavia (Jakarta),” lanjut Simatupang.
Di akhir cerita, para penonton dipersilakan masuk ke Museum Diponegoro yang masih satu kompleks dengan Gedung Bakorwil. Para pengunjung pun diberi penjelasan, soal benda-benda bersejarah yang masih terjaga tersebut. Di antaranya, tempat duduk Sang Pangeran, bale-bale (tempat salat), jubah, dan ringkasan cerita perjalanan hidup Dipanagara.
Rencananya, tak hanya di Gedung Bakorwil saja pementasan ini bakal dihelat. Tetapi juga mengambil latar tiga tempat lagi di antaranya Bangunan Dalem Tegalrejo Yogyakarta, tempat saat Pangeran Dipanagara menyaksikan sendiri Belanda memasang tonggak-tonggak jalur kereta api Belanda di tanah miliknya. Lalu, Gedung Stadhuis (Gedung Balaikota) milik Belanda di Jakarta (sekarang Museum Fatahilah Jakarta), tempat Pangeran Dipanagara ditawan Belanda sebelum ia diasingkan ke Manado. Dan terakhir di Benteng Rotterdam Makassar, penjara tempat pengasingan Pangeran Dipanagara dan kerabatnya hingga akhirnya ia meninggal.