Masa depan fungsi dan peran Badan Pengelola REDD+ masih belum jelas. Kelanjutan institusi yang kini mengambil alih sebagian peran Kementerian Kehutanan itu terancam berhenti atau jika dipaksakan berjalan melalui donasi hibah asing murni.
Pembentukan Badan Pengelola REDD+ melalui Perpres No. 63/2013 pada Agustus 2013 tak diiringi dengan penganggaran dalam APBN 2014.
Elfian Effendy, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, di Jakarta, Sabtu (23/11) menyatakan, Badan Pengelola REDD+ merupakan komitmen pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Karena itu perlu disegerakan operasionalnya, sehingga ketika jabatan SBY berakhir, badan ini sudah berjalan. Berikutnya presiden mendatang tinggal melanjutkan dan memperkuat Badan Pengelola REDD+ itu," katanya.
Namun, kondisi saat ini menimbulkan kekhawatiran. Pengelolaan hutan masih seperti biasa sehingga target penurunan emisi tak tercapai (target 26-41 persen pada 2020), seperti dijanjikan Yudhoyono pada tahun 2009.
Menurut Elfian, Badan Pengelola REDD+ harus didukung APBN, sedangkan dana hibah hanya pendukung. Jika dana hibah asing dominan, justru Badan Pengelola REDD+ dapat didikte negara pemberi hibah.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Kemitraan Wicaksono Sarosa menyampaikan, Badan Pengelola REDD+ mendesak diisi personel. Sebab, badan itu berperan strategis untuk menjalankan dan mengelola program yang didukung pendanaan asing. "Tahun depan sudah pemilu. Saya khawatir perhatian tidak ke sana (pengelolaan hutan)."