Negara-negara pemilik Segitiga Terumbu Karang Dunia belum memiliki aturan nasional atau regional yang melindungi jenis hiu dari penangkapan. Padahal, kesehatan perairan terumbu karang juga tergantung dari keberadaan predator tertinggi di samudera itu.
”Pemulihan hiu butuh waktu sangat lama. Jika suatu kawasan dilindungi penuh, pemulihan populasi tampak sekitar 10 tahun,” kata Lida Pet-Soede, Leader WWF Coral Triangle Programme, di Jakarta, Jumat (29/11) lalu.
Kawasan Segitiga Terumbu Karang Dunia ada di enam negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste. Total luas sekitar 6 juta kilometer persegi dari kawasan Asia Tenggara sampai Pasifik Barat. Sebagian besar luasan ada di Indonesia.
”Secara nasional, dalam waktu dekat Kepulauan Solomon mengeluarkan perundangan yang melindungi hiu,” katanya. Kondisi tanpa regulasi nasional itu membuat berbagai organ hiu mudah diperdagangkan bebas.
Di Indonesia, perlindungan hiu (dan manta) secara penuh baru peraturan daerah di Kabupaten Raja Ampat dan peraturan bupati di Manggarai Barat, NTT. Pet-Soede berharap inisiatif pemda itu bisa ditiru kabupaten lain dengan perairan kaya, seperti Alor dan Lembata.
Secara nasional, di Indonesia, perlindungan baru spesies tertentu, di antaranya hiu paus (Rhincodon typus), hiu gergaji (Pristis microdon), dan hiu tikus (Alopias sp).
Pada Sidang Pleno Pertemuan Konvensi tentang Perdagangan Internasional Satwa yang Terancam Punah (CITES) Ke-16, Maret 2013, di Bangkok, ditetapkan antara lain tiga jenis hiu martil (Sphyrna lewini, S mokarran, dan S zygaena) serta hiu koboi (Carcharhinus longimanus) masuk daftar Apendiks II.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menerjemahkannya pada skala nasional, tetapi tak kunjung selesai. Peraturan menteri kelautan akan melindungi hiu secara terbatas.
Indonesia dikenal penangkap hiu terbesar di dunia dengan pasar terbesar China. Produknya sirip, minyak, dan kulit.
Pada Jumat malam, WWF menginisiasi kampanye dalam gala dinner. Pesannya, hentikan konsumsi hiu. ”Kami ingin menularkan perubahan gaya hidup. Mari berbuat sesuatu bagi manusia dan lingkungan,” kata Efransjah, CEO WWF Indonesia.