Meninggalnya seorang TKI berinisial TM (36) di Hongkong, membuka wawasan masyarakat mengenai keberadaan virus H7N9. Strain baru virus flu burung ini merupakan modifikasi dari jenis sebelumnya yang menginfeksi manusia, yaitu H5N1 dan H5N7.
Keduanya menginfeksi unggas yang kemudian menular pada manusia, dan dikenal sebagai penyebab Severe Accute Respiratory Syndrome (SARS). Kendati begitu ada sesuatu yang unik terkait strain H7N9.
“Kemungkinan strain ini memiliki domain di manusia, bukan unggas seperti jenis virus pendahulunya. Hal ini dikarenakan tidak ada laporan outbreak kematian unggas baik di China maupun Hongkong,” kata Kepala Laboratorium Avian Influenza Pusat Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga, Chairul Anwar Nidom kepada KOMPAS Health, Rabu (04/12).
Menurut Nidom, jika H7N9 bersifat sama seperti kedua virus pendahulunya, maka akan banyak jumlah unggas yang mati di wilayah yang terinfeksi. Kematian unggas ini barulah disusul tewasnya manusia, terutama bagi yang berkontak langsung dengan unggas yang terinfeksi.
Hal ini juga didukung tidak adanya laporan yang menyebutkan telah ditemukan virus H7N9 di tubuh unggas jenis apapun, terutama di wilayah yang terinfeksi. “Kita pernah meneliti beberapa virus pendahulu H7N9 dan menemukan adanya kemungkinan infeksi di tubuh unggas maupun manusia. Kalau begini maka terbuka peluang manusia menjadi domain,” kata Nidom. Dengan kemungkinan ini, kata Nidom, maka mungkin saja H7N9 menginfeksi manusia terlebih dulu baru ke unggas.
Kemungkinan ini juga didukung struktur virus H7N9 yang berbeda dengan dua pendahulunya. Virus H7N9, kata Nidom, berstruktur lebih mudah menempel pada manusia dibanding pada unggas terutama ayam.
Virus H7N9 juga kemungkinan mampu melakukan lompatan ras, yang dibuktikan kemampuannya menginfeksi WNI bukan warga Asia Timur layaknya saat kasus pertama ditemukan pada Maret 2013.
Nidom menyarankan WNI yang ada di Hongkong meningkatkan kewaspadaan. “Kalau memang berdomain di manusia maka warga harus berhati-hati, karena hal utama yang harus diperhatikan adalah pergerakan manusia. Apalagi jika korban berdomisili di pusat kota,” kata Nidom.
Terkait hal tersebut, Nidom menilai, pengawasan sebaiknya tidak hanya dilakukan pada unggas. Pengawasan juga harus dilakukan pada pergerakan manusia yang masuk dan keluar Indonesia. Dengan kemungkinan ini, maka penggunaan thermal scanner menjadi metode pengawasan standar. Pengawasan juga harus dilakukan pada orang yang menderita batuk, sebagai gejala utama serangan virus flu burung.
Untuk warga yang tinggal di Hong Kong, Nidom menyarankan untuk selalu menggunakan masker. Masker khusus virus dengan spesifikasi N95 atau N100 ini, harus selalu digunakan saat beraktivitas terutama yang dilakukan di luar rumah.
Selain menggunakan masker, “Lakukanlah langkah pertahanan sedini mungkin, jangan menunggu terjadinya kasus. Pengawasan sebaiknya dilakukan utamanya pada pergerakan orang. Untuk warga jangan lupa gunakan masker dan konsumsi white tea serta ekstrak kakao,” kata Nidom. White tea sebaiknya dikonsumsi pada seduhan pertama dan ketiga. Menurut riset yang dilakukan Nidom, teh putih ini terbukti melindungi sel-sel tubuh dari serangan flu burung. Sedangkan kakao memiliki senyawa aktif yang menahan dan merusak sel-sel virus flu burung.