Lapangan Banteng Berawal dari Tempat Berburu Kaum Kaya Batavia

By , Jumat, 6 Desember 2013 | 19:26 WIB

Di masa penjajahan, rakyat menamakannya Lapangan Singa. Sebab di tengah lapangan terpancang tugu peringatan dengan patung singa di atasnya. Tugu itu didirikan dalam tahun 1828 untuk mengenang pertempuran Waterloo.

Pada foto-foto tempo dulu, di tengah lapangan terlihat sebuah tugu peringatan dengan seekor singa kecil bertengger. Setelah kemerdekaan namanya berganti menjadi Lapangan Banteng.

Nama itu memang tepat, bukan saja karena singa mengingatkan kita pada lambang penjajah, tetapi juga tak dikenal dalam dunia fauna kita. Sebaliknya banteng merupakan lambang nasionalisme Indonesia. Di samping itu, tidak kecil kemungkinan bahwa lapangan itu dulu pernah dihuni banteng sebagai satwa liar.

Hal ini bukan mustahil, mengingat bahwa pada abad ke-17, Batavia masih dikelilingi hutan rimba lebat yang dihuni berbagai jenis satwa—seperti harimau, banteng, kijang, babi, dan lainnya.

Batavia di masa itu hanya terbatas sampai sekitar lokasi Pasar Ikan sekarang dengan balai kota (sekarang Museum Fatahillah) sebagai titik pusat. Batas kota ditandai dengan tembok kota paling selatan, kira-kira di sekitar Stasiun Kota (Beos) saat ini.

Namun, sebenarnya catatan tertua menyebutkan, lapangan itu berasal dari tahun 1623, sebagai tanah milik Anthonie Paviljoen Sr. Pada 1629, tanah dihibahkan kepada putranya yang senama, Anthonie Paviljoen Jr.  Tanah yang disebut Paviljoenveld atau Lapangan Paviljoen tersebut terletak di sebelah barat Sungai Ciliwung dan sebagian besar merupakan rawa-rawa.

Anthonie Paviljoen Jr. menyewakan tanahnya kepada orang Cina yang bertanam tebu dan sayur-mayur. Dia sendiri hanya mempertahankan hak untuk tetap menggembalakan ternaknya di sana. Kemudian tanah menjadi milik Cornelis Chastelein. Ia memperluas tanah miliknya sehingga akhirnya batas utara mencapai jembatan antara Jalan Dr. Sutomo dan Gunung Sahari kini. Diduga ia pula yang memberi nama Weltevreden. Pada tahun 1733 tanah itu dijual kembali, kali kepada seorang tuan tanah: Justinus Vinck. Dua tahun setelahnya, ia mendapatkan izin mendirikan pasar-pasar di tempat ini. Vinck dapat dicatat sebagai orang yang berjasa mengembangkan tanah Weltevreden.

Dalam tahun 1644, Gubernur Jenderal Maetsuyker diberitakan berburu dengan bantuan 800 orang di Lapangan Paviljoen (kira-kira letaknya di Lapangan Banteng sekarang) dengan menggiring satwa ke arah kota (utara). Agaknya olah raga berburu waktu itu cukup menguntungkan pemerintah, karena pada hasil buruan yang digiring lewat pintu gerbang kota dikenakan pajak sebesar 10 persen.

Ketika zaman Gubernur Jenderal H. W. Daendels, pusat pemerintahan dipindah dari Kota ke Weltevreden. Lantas pada 7 Maret 1809, diputuskan untuk membangun istana baru bagi gubernur di sisi timur lapangan. Bangunan induk direncanakan untuk gubernur jenderal sedangkan yang lain akan dipakai untuk kantor-kantor pemerintah. Kompleks itu juga meliputi tempat penginapan bagi pejabat, istal kuda, dan sebagainya.

Menjelang pertengahan abad ke-19, Lapangan Banteng menjadi tempat berkumpulnya golongan elite. Pada Minggu malam diperdengarkan musik militer oleh korps musik garnisun Batavia yang terlatih baik. Lapangan itu pada sore hari penuh kereta-kereta pesiar dan kuda tunggangan. Sampai tahun dua puluhan musik semacam itu masih diperdengarkan setiap Kamis malam, di suatu sudut lapangan yang gelap, menarik banyak peminat.