Mengembalikan Mutiara Budaya Betawi

By , Senin, 9 Desember 2013 | 17:39 WIB

Gabus pucung, pecak ikan gabus, roti buaya dalam budaya Betawi  mengisyaratkan betapa akrabnya warga Betawi pada rawa dan sungai. Ironis bila melihat bahwa lebih dari satu dekade ini, ketika musim penghujan tiba –bulan November sampai Februari– sungai-sungai di Jakarta, terutama Ci Liwung, dianggap musuh yang ditakuti.

“Sampai 1970-an, buaya masih ditemui di sejumlah sungai di Jakarta,” kenang Abdul Chaer, budayawan Betawi, “Malah ada yang kasih sesajen.”

Bagi warga Betawi, buaya adalah lambang kesetiaan dan kegigihan hingga sepasang roti buaya selalu dipesembahkan keluarga mempelai pria pada keluarga mempelai wanita – lambang kesungguhan untuk menjalankan keluarga yang bahagia sejahtera.

“Di Condet, yang dijadikan Cagar Budaya Betawi pada 1974,  tepi Ci Liwung Pada budaya Cina, Belanda dan pendatang lain tak ditemui penghormatan pada buaya,” timpal JJ Rizal, pemerhati budaya Betawi. Jadi, keakraban pada buaya dan sungai merupakan budaya asli Betawi,

Jangan salahkan sungai bila kini dituding sebagai penyebab banjir. Kitalah yang menjadikannya tempat sampah raksasa. Tanah sebagai celah air meresap pun perlahan menghilang. “Dulu saya tinggal di rumah dengan pekarangan 2.000 meter persegi. Sekarang cuma di lahan 120 meter persegei. Permainan-permaianan tradisional yang memanfaatkan lapangan pun dengan sendirinya menghilang,” tutur Abdul Chaer dalam kesempatan diskusi Menggali Mutiara Betawi, di Bentara Budaya Jakarta beberapa waktu lalu.

Perubahan lingkungan alam dan membaurnya berbagai budaya juga mengikis kebiasaan baik. “Dulu, saat ada yang meninggal, kita spontan ikut shalat jenazah. Sekarang, begitu selesai shalat, ada jamaah yang minta amplop. Dulu, orangtua saya selalu menasihati, kalau menemukan paku di jalan, ambil supaya tak ada yang celaka. Sekarang, kok ada yang sengaja menyebar paku di jalan?” tambah Abdul Chaer.

Kini, sejumlah orang mulai mengeluhkan ondel-ondel Betawi yang mengamen di jalan. Padahal, “Aslinya ondel-ondel itu bukan untuk ngamen, tapi merupakan tolak bala. Di masa Walikota Sudiro, Tanjidor dilarang karena dianggap pengemis. Ondel-ondel itu lambang raja setan yang mengawasi para setan kecil supaya tak jahat. Biasa mengawali iringan pengantin supaya setan-setan tak sempat berbuat jahat. Sekarang, banyak ondel-ondel dipajang di kantor birokrasi, tapi tetap ada ‘maling’!” tukas Abdul Chaer.

Kembali ke sungai. Kita boleh optimis, bahwa ada sekelompok anak muda yang sedikit demi sedikit menghidupkan kembali budaya Betawi yang ramah pada sungai. Komunitas Ciliwung Condet, misalnya, mengajak menjaga kebersihan sungai, menjaga bantaran Ci Liwung dengan menanam kembali salak condet, pucung (keluwek), melinjo dulu menjadi icon budaya Condet yang asri. Sore hari adalah saat tepat untuk menonton keriaan para monyet yang hidup damai di rimbun tepian sungai, bukan bernasib malang dijadikan pengamen topeng monyet yang kini terlarang di Jakarta.