PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengatakan sedikitnya terdapat seribu lebih perlintasan kereta api liar yang berjalan tanpa rambu atau penjaga sehingga sangat berpotensi menimbulkan bahaya bagi pengguna jalan.
Perlintasan liar ini, yang dibuka tanpa izin dari Kementrian Perhubungan dan tak terdaftar di PT KAI, menurut PT KAI "menjadi bom waktu" yang setiap saat dapat mengancam keselamatan masyarakat yang menggunakan.
Perlintasan liar tanpa registrasi ini muncul biasanya akibat pengembangan wilayah yang kurang cermat memperhitungkan akses lalu lintas penghuninya. Ini dikemukakan juru bicara PT KAI, Sugeng Priyono.
"Menurut amanat Undang-Undang Perkeretaapian, perlintasan yang sudah ada yang masih sebidang harus dikurangi. Ini malah setiap saat bertambah terus," keluh Sugeng.
Perlintasan liar seringkali dijaga secara swadaya oleh masyarakat, dengan palang pintu dan rambu seadanya.
Meski tak berstatus resmi, jika terjadi kecelakaan KAI yang selalu disalahkan, tambah Sugeng. "Sudah jelas statusnya tidak terdaftar, kami tidak tahu-menahu dengan keberadaan perlintasan itu. Kalau ada apa-apa, telunjuknya diarahkan kepada kami," serunya jengkel.
Dalam UU Kereta Api urusan pengelolaan perlintasan termasuk pemberian izin dan pengawasannya ada di tangan regulator, dalam hal ini Kementerian Perhubungan atau dinasnya di daerah.
Kecelakaan tabrakan KRL Commuter Line dengan truk pengangkut BBM di Pondok Betung, Bintaro pada Senin (9/12) lalu, juga terjadi di lintasan, meskipun masih diselidiki apakah karena kesalahan pengemudi truk tangki BBM yang melintas atau kelalaian petugas penjaga palang.
PT KAI berkeras insiden Bintaro terjadi karena pengemudi yang menerobos lintasan. Pihak PT KAI menyatakan petugas sudah berfungsi dengan semestinya, tapi kecelakaan tak terbendung karena pengemudi nekat menerobos meski palang pintu sudah diturunkan dan sirene sudah dibunyikan.
Setelah kasus Bintaro, PT KAI mendesak agar pemerintah di pusat maupun provinsi segera merealisir amanat UU untuk membangun lintasan aman dengan memisahkan bidang jalan untuk lalu lintas umum dan kereta api.
Lintasan yang sejauh ini dianggap paling aman berbentuk jalur layang (flyover) atau jalan tembus bawah tanah (underpass), yang bahkan di Jakarta saja baru ada beberapa buah. "Kami sudah dengar dari Gubernur Jakarta dulu waktu beliau awal-awal menjabat ada rencana membangun 24 flyover dan underpass," tambah Sugeng.
Sampai sekarang belum pasti apakah janji itu akan direalisir karena muncul rencana baru pembangunan jalur kereta layang (elevated track), yang kemungkinan akan mengubah rencana semula.