Sepotong Kuta di Jakarta

By , Kamis, 12 Desember 2013 | 17:53 WIB

Suatu malam, saya dan beberapa teman, Theresia, Melanie, dan si belia Jepang, Rye penuh gairah  melenggak-lenggokkan bahu, perut, pinggul sesuai alunan mengentak-entak musik khas Mesir -- saidi, beledi, maksoum, falahi, karachi . Mencontoh Suzan, dari cermin yang menutup dinding ruang tengah apartemen Kemang Club Villas, Jalan (Jl) Kemang Selatan 1, Jakarta Selatan. Sesekali Ian, suami Suzan yang mengungsi ke kamar, keluar  mengambil minuman. Menjaga pandangan, tak sekalipun melirik kami. Kursus belly dance  ini biasanya Sabtu pagi di Sanggar Kemang 5, Jl Kemang Barat. Tapi kadang Suzan menawarkan di tempat tinggalnya.  Bila Ian sedang pulang kampung ke Inggris, Suzan memilih tidur di rumah orangtuanya di Jl. Bangka IX, serentang 1 km. Disopiri Maulana, warga Betawi dari Kemang Barat 2, Suzan mengantar saya, melewati kantor konsultan keuangan yang ia kelola di Graha Chantia, Bangka Raya, naik taksi di Grand Hotel Kemang, Kemang Raya – yang dulu ditempati Dive Indonesia, penyedia sarana hobi selam. Suzan mengenal Kemang sejak 1971, ketika ayahnya membeli 800m2 lahan seharga Rp 1.000/m2 – kini Rp 3-5 juta/m2. Bersamaan mulai banyaknya warga asing, pegawai perusahaan minyak dan gas saat oil boom, harga minyak meroket pada 1970-an, mencari guest house di sekitar Kemang atau Cilandak. Ia contoh sejati warga Kemang. Tinggal, bekerja, mengisi waktu luang, memperkerjakan warga asli dan kebetulan menikahi warga asing, menjadi bagian dari setidaknya 4.000 warga asing yang senang tinggal di Kemang. *) dimuat di National Geographic TRAVELER Vol.I No.5, Juli-Agustus 2009, hlm.24-29