Mengenal Kampung Tradisi Matrilineal: Koto Padang Ranah

By , Jumat, 13 Desember 2013 | 13:00 WIB
()

Saat memasuki sebuah kampung di kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, kami melewati sebuah patung besar perempuan mengenakan pakaian khas tradisional Minangkabau di tengah pertigaan jalan. “Belok ke kanan bang,” kata Silvia Devi, staf kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang, kepada supir kendaraan yang kami tumpangi. Kendaraan pun berbelok ke kanan. Beberapa detik kemudian pandangan kami mulai tertuju pada rumah-rumah adat khas Minang, Bagonjong, di sisi kiri dan kanan jalan desa. Dari kondisinya,  bangunan-bangunan kayu itu  bisa ditaksir berusia sudah cukup tua.

Itulah kampung atau Nagari Koto Padang Ranah. “Ini rumah gadang, bentuknya bagonjong,” kata Osrifoel Oesman arsitek yang juga arkeolog yang ikut dalam rombongan. Bagonjong salah satu arsitektur rumah adat yang dimiliki Minangkabau. Cirinya adalah bentuk atapnya melengkung seperti tanduk kerbau. “Rumah gadang adalah milik perempuan dan diwariskan secara turun menurun ke anak perempuannya,” lanjutnya lagi.

Kakek Alam, 86 tahun, bersantai di beranda rumah gadang. Ia lahir di rumah gadang itu. (Foto: Feri Latief)

Dalam sistem matrilineal Minangkabau, laki-laki sama sekali tidak dapat mewariskan hartanya. Kalau ia meninggal harta itu akan kembali kepada orangtua perempuannya atau kepada adik dan kemenakan perempuannya. Kecuali harta mata pencahariannya boleh diwariskan ke anak-anaknya.

Jadi rumah gadang dimiliki anggota keluarga garis keturunan perempuan secara bersama-sama. Kalau hendak dijual semua anggota keluarga yang memiliki harus mufakat bulat, satu saja yang keberatan maka tak boleh dijual. Karena itulah belum pernah ada rumah gadang yang pernah terjual.

Rumah gadang didiami oleh mereka yang segaris keturunan. Dalam bahasa minangnya adalah; saparuik (dari satu perut). Ayah atau suami ibu tidak termasuk anggota keluarga di rumah gadang istrinya, tetapi anggota keluarga dari rumah gadang ibunya. “Rumah gadang adalah simbol budaya matrilineal Minangkabau,” Osrifoel menambahkan.

Anak laki-laki yang mulai beranjak besar biasanya disuruh belajar mengaji dan menginap di surau. Mereka dibiasakan hidup berpisah dengan orangtua dan saudara perempuannya, tidak di rumah gadang lagi. “Tradisi ini salah satunya yang membuat kaum lelaki minang terbiasa merantau,” terang Osrifoel yang juga berdarah minang.

Di kawasan yang tak seberapa luas itu terdapat 76 rumah gadang. Ini merupakan konsentrasi rumah gadang terbanyak dalam satu lokasi di seluruh Sumatera Barat. Bukan saja sistem matrilineal dipegang teguh tapi juga tata kelola lingkungannya. Rumah-rumah gadang itu tertata rapih, ada pola yang diterapkan untuk jarak antar bangunan dan  pekarangannya. Tata guna tanah dan tata guna airnya juga diatur semuanya secara musyarawah dan mufakat di balai adat. Keseimbangan ekologis dan kelestarian lingkungan menjadi pertimbangannya, sesuai dengan filosofi minang: 'Alam takambang jadi guru'.

Memasuki kampung ini waktu seakan berhenti, jejeran rumah-rumah gadang yang terbuat dari kayu, walau tak seragam gaya dan ukurannya seakan membawa kita ke masa lampau. Antena-antena parabola di pekarangan rumah penduduk yang menyadarkan bahwa kita hidup di jaman modern.

Bermodalkan semua keunikan dan kekhasan itulah kawasan Koto Padang Ranah di Sijunjung diusulkan ke pemerintah pusat untuk menjadi World Heritage. “Kampung ini representasi budaya matrilineal. Belum dapat dicari padanannya, baik di Indonesia maupun di dunia. Koto Padang Ranah tidak memiliki bandingannya dengan kawasan lain di dunia”, demikian salah satu argumen tertulis Pemerintah Provinsi Sumatera Barat yang dibagikan kepada peserta 'Dialog Untuk Pengakuan Warisan Dunia (UNESCO)' di balai adat Koto Padang Ranahdi Sijunjung, Sumatera Barat, tanggal 11 Desember 2013 yang lalu.

Kepala Subdit Warisan Budaya Nasional dan Dunia di Direktorat Jenderal Kebudayaan, Ibu Roseri Rosdy Putri, M .Hum, yang hadir di acara dialog tersebut menjelaskan setidaknya sudah ada empat titik di wilayah di Sumatera Barat yang diajukan ke pemerintah pusat untuk dijadikan world hetitage. “Jam Gadang di Bukiti Tinggi, kota Sawah Lunto, kota 1000 rumah gadang di Solok Selatan, dan Koto Padang Ranah di Sijunjung,” Roseri Rosdy menerangkan. “Usulan masyarakat akan kita tindaklanjuti. Tapi yang utama mereka harus melestarikan dulu apa-apa yang diusulkan. Seperti jangan membuat bangunan baru di zona-zona yang telah diusulkan, prosesnya masih panjang,” jelas Roseri Rosdy menutup pembicaraan.

(Feri Latief)