“Ini lobi-lobi, Mbak” ujar penjaja keliling rujak bebeg (rujak tumbuk khas Betawi) sambil memetiki buah-buah merah membulat seruas ibu jari dari pohon besar rindang di sisi selatan Stadion Renang Senayan.Di barat Stadion Renang, terbentang Kridaloka. Dari gerbangnya kini sulit dikenali bahwa sebidang tanah ini lintasan jogging 1.000 m yang tiap 100 m dilengkapi sarana senam alat, dari gelang kelentukan sampai balok sit-up. Sekitar 560 pohon di sini telah tumbuh tinggi berakar kuat, berpola menjalar di muka tanah, dan tajuk lebat teduh memayungi. Berada di dalamnya, sejenak saya merasa di sudut Kebun Raya Bogor. Senin – Sabtu pagi, tempat ini dimanfaatkan sejumlah klub jantung koroner. Selewat pk 07:00 umum boleh masuk dengan tiker Rp 5.000/orang, berkamar ganti dan toilet bersih.
Saya lebih suka datang Minggu pagi bertiket Rp 6.000 untuk mengamati burung. Tak kurang dari 23 jenis burung – betet, kepodang, prenjak, ketilang, tekukur, pelatuk, kapinis laut, kapinis rumah, remetuk laut –terpikat banyaknya pohon yang menyediakan semut, serangga, biji, buah kesukaan mereka. Ada bungur, kepel, mundu, belimbing, sawo duren, sawo kecik, matoa, bisbul, jamblang, gandaria. Urung yang jadi penanda alami bersih sehat suatu lingkungan, bebas terbang, bahkan sesekalil hingga tip agar dan mematuk-matuk di tanah tanpa takut terusik.Ini suasana asli yang dipertahankan seperti ketika sampai awal 1959, kawasan 279,1 ha Gelora masih merupakan empat kampung warga Betawi. Semuanya dimulai sehari sebelum pembukaan Asian Games III di Tokyo, 23 Mei 1958, Asian Games Federation (AGF) memilih Indonesia sebagai penyelenggara Asian Games IV/1962. *) dimuat di National Geographic TRAVELER Vol II No.02, Maret-April 2010, hlm.26-31