Indonesia Belum Perlu Standarisasi Obat Halal

By , Senin, 16 Desember 2013 | 09:00 WIB

Isu status kehalalan obat kembali mengemuka. Isu itu tak pelak membuat sejumlah masyarakat khawatir terkait kandungan babi dalam obat yang diresepkan. Berkaca dari isu ini, standardisasi halal suatu obat kembali dipertanyakan.

Menurut Ketua Bidang Kajian Obat dan Farmakoterapi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Masfar Salim, Indonesia belum perlu memperlakukan standardisasi halal untuk obat. “Saat ini belum diperlukan standardisasi karena yang bahan yang digunakan adalah yang terbaik. Yang diperlukan adalah keterangan ada atau tidaknya unsur babi. Keterangan ini kemudian ditaruh di kemasan obat. Disertai juga keterangan bisa digunakan karena tidak ada bahan baku alternatif lainnya,” ujarnya pada temu media yang dilakukan di Jakarta, Kamis (12/12) lalu.

Belum perlunya standardisasi halal juga didukung fakta sebagian besar obat di Indonesia tidak mengandung babi. Hanya sebagian kecil yang masih mengandung babi, misalnya obat pengencer darah dan vaksin jenis tertentu.

“Hampir 90 persen obat di Indonesia halal, karena tidak berasal atau menggunakan bahan baku babi. Obat ini misalnya antibiotik atau digitalis, yang memiliki bahan utama tumbuh-tumbuhan,” kata anggota Bidang Kajian Obat dan Farmakoterapi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Jamal Abdul Muis. Antibiotik adalah obat untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Sementara digitalis adalah obat untuk meningkatkan kekuatan dan efisiensi jantung.

Penggunaan unsur babi, jelas Jamal, masih diperkenankan karena tidak ada unsur lain yang memberi manfaat sama baiknya. Jamal mengatakan, enzim tripsin yang berasal dari pankreas babi memang ditemukan juga di sapi.

Namun kualitas tripsin asal sapi tidak sebaik yang berasal dari babi. Akibatnya ramuan obat yang menggunakan tripsin sapi tidak memiliki sifat stabil, layaknya yang menggunakan babi.

Hal ini bisa dilihat dari penggunaan tiga jenis obat pengencer darah, yaitu enoxaparin, unfractinated heparin (UFH), dan fondaparinux. Obat jenis enoxaparin terbukti lebih efektif dibanding dua lainnya. Namun enoxaparin yang diberikan dengan cara suntikan di bawah kulit dua kali sehari ini, mengandung unsur babi.

Sedangkan dua obat lainnya memang bebas dari unsur babi, tapi pemberian dan hasilnya tidak seefektif enoxaparin. UFH misalnya, harus diberikan dengan infus (drip intravena) yang dilakukan terus menerus selama 48 jam.

Pemberian UFH juga memerlukan pengawasan faktor pembekuan, karena tidak mudah untuk mencapai dosis pengobatannya tidak semudah enoxaparin.

Hal serupa juga terjadi pemberian fondaparinux. Obat ini bahkan hanya diberikan satu kali sehari dengan cara yang sama dengan enoxaparin. Namun fondaparinux tidak diperkenankan bagi pasien yang melakukan kateterisasi atau menggunakan stent (ring), karena akan mengurangi efektivitas kedua alat tersebut.

Bila dilihat dari kasus tersebut, Masfar mengatakan, dokter akan memberikan enoxaparin yang memiliki nilai efektifitas lebih tinggi. “Dilihat dari kasus ini maka obat yang mengandung babi ternyata memberikan efektivitas lebih tinggi. Kalau begini maka standardisasi perlu dipikirkan ulang. Yang penting adalah mutu dan efektivitas obat yang diterima pasien,” tuturnya.