Saya jatuh cinta pada kunjungan pertama. Padahal hanya ke desa di Gunung Bunder, sekitar 80 km, tiga jam dari Jakarta, di perbatasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kali pertama pada Februari 2007, saya sekadar mengiyakan ajakan seorang teman. Mengikuti paket wisata kriya, melukis gelas dan menghias telur. Apa enaknya? Tapi kemudian saya menyesali sikap yang belum apa-apa sudah meremehkan itu.
Dari kota Bogor, selama dua jam perjalanan, 32 km arah utara menuju kawasan Gunung Bunder di ketinggian 750 – 1.050 m di atas permukaan laut.(dpl), saya teringat Ubud, Bali. Melewati jalur Ciapus, jalan sempit berkelak-kelok naik turun, diapit deretan rumah penduduk dan di bagian akhir, kebun palawija, sawah berundak-undak menghijau, menyongsong Gunung Salak di kejauhan.
Kami memasuki di kawasan rumah peristirahatan milik warga kota, bersisian dengan rumah penduduk atas tebing, dan berhenti di atas tebing dengan pemandangan lepas ke arah lembah. Di sela-sela kabut tipis yang selalu hadir tiap kali rintik hujan memenuhi jadwal hariannya, mengintip kepadatan Jakarta di bawah sana. Saat malam, kepadatan itu berganti tebaran titik lampu. Beridiri di sini mengingatkan pada ketinggian Bandung dan Gombel, Semarang.
Di rumah panggung kayu gaya Manado itu, kami seperti pulang ke rumah. Begitu nyaman dan ‘hangat.’ Penuh makna di tiap detail interiornya – bantalan kursi, tirai berenda, taplak meja bersulam, aneka cendera mata menghiasi dinding dan meja. Nyaris semuanya karya sang nyonya rumah La Lita Handicraft, Lita Jonathans.
Setelah menikmati teh hangat dan pisang kepok goreng dari kebun sendiri, tantangan menanti kami di meja yang telah ditata di halaman asri hijau berbunga: telur ayam mentah, jarum suntik, paku, seruas kawat, botol cuka, mangkuk, kosong dan yang berisi air. Ini modal membuat telur hias batik, lukis, tabur glitter, payet, mote-mote, gambar tempel, clay memikat seperti terpajang di galeri La Lita.
*) Dimuat di “Ditantang Sebutir Telur,” National Geographic TRAVELER Vol.I, No.3, Mei-Juni 2009, hlm. 48-49.